MAKALAH
Keadilan Hukum Waris
dalam Islam
TEMA: Manusia dan Keadilan
Disusun Oleh:
Nama : Bayu Aji Pangestu
Kelas : 1TA02
NPM : 11315275
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS TEKNIK SIPIL
DAN PERENCANAAN
JURUSAN TEKNIK SIPIL
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, pengatur alam semesta, seluruh isi langit dan bumi.
Dialah Yang Maha Kekal, tidak akan rusak dan tidak akan mati, yang telah
berfirman dalam Al-Qur'an:
"Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang yang ada di atasnya,
dan hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan." (Maryam: 40)
Semoga shalawat dan salam tetap Allah anugerahkan kepada sang pembawa
cahaya, perintis kemanusiaan dan penunjuk jalan, junjungan kita Muhammad saw.
Dengannyalah Allah SWT menghilangkan kesesatan dan kegelapan, dan dengannyalah
Allah mengeluarkan umat manusia dari kegelapan kepada alam yang terang
benderang.
Semoga shalawat dan salam juga Allah berikan kepada seluruh kerabatnya,
para sahabatnya, dan siapa pun yang mengikuti jejaknya.
Makalah saya buat atas dasar tugas yang diberikan oleh dosen Hukum Islam,
dan membahas tentang keadilan dalam Hukum Waris Islam. Saya bermohon kepada
Allah semoga buku ini dapat bermanfaat khususnya bagi para mahasiswa, dan
umumnya bagi seluruh kaum muslim yang memiliki keinginan untuk mengetahui
dengan pasti mengenai faraid (ilmu yang mengatur pembagian harta pusaka).
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar semua doa dan Maha Mampu untuk
memenuhinya.
Jakarta, Mei 2016
Penyusun
KEADILAN DALAM HUKUM
WARIS ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
Kematian atau
meninggal dunia adalah suatu peristiwa yang pasti akan dialami olehsetiap manusia,
karena kematian merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia.Namun yang menjadi
permasalahan adalah jika orang tersebut meninggal dunia denganmeninggalkan harta
yang lazim disebut harta warisan ataupun tirkah, dengan cara apa kitahendak
menyelesaikan atau membagi harta warisan tersebut, hukum apa yang akan kitaterapkan dalam
penyelesaian harta warisan itu.
Sebagai agama yang
sempurna, Islam mengatur segala sisi kehidupan manusia, bahkan dalam hal yang
berkaitan dengan peralihan harta yang ditinggalkan seorang manusia,
setelah manusia
tersebut meninggal dunia. Hukum yang membahas tentang peralihan harta tersebut
dalam ilmu hukum disebut hukum kewarisan, atau dikenal juga dngan hukum faraid.
Idris Djakfar dan
Taufik Yahya mendifinisikan bahwa hukum kewarisan ialahseperangkat
ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telahmeninggal dunia
kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebutberdasarkan pada
wahyu Ilahi yang terdapat dalam al-Qur'an dan penjelasannya yangdiberikan oleh
Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebut Faraidl.l
Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam
mendefinisikan:
"Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris ".
Dari kedua definisi tersebut dapat diketahui bahwa
hukum kewarisan Islammerupakan hukum yang mengatur tentang peralihan
kepemilikan harta dari orang yang telahmeninggal dunia kepada orang yang masih hidup (yang
berhak menerimanya), yang mencakup
1 Idris Djakfar dan Taufik
Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta; PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm. 3-4
apa saja yang menjadi harta warisan, siapa-siapa saja
yang berhak menerima, berapa besar forsi atau bagian masing-masing ahli waris, kapan dan
bagaimana tata cara pengalihannya.
Warisan menurut
sebagian besar ahli hukum Islam ialah semua harta benda yangditinggalkan oleh
seseorang yang meninggal dunia baik berupa benda bergerak maupun bendatetap, termasuk
barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut pautnya dengan hak orang lain,
misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan atas hutangnya ketika
pewaris masih
hidup.2
Allah Swt. memerintakan agar setiap
orang yang beriman mengikuti ketentuanketentuan
Allah menyangkut hukum kewarisan sebagaimana yang termaktub dalam kitab
suci Al-Qur'an dan menjanjikan
siksa neraka bagi orang yang melanggar peraturan ini.3
Dalam Q.S. An-Nisa' ayat 13 dan 14 Allah berfirman:
Artinya : Hukum-hukum tersebut adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah, barang siapa yangta'at pada (hukum-hukum) Allah
dan RasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang
mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka (akan) kekal di dalamnya.
Dan yang demikian tersebut merupakan kemenangan yang besar. Dan barang siapa
yang mendurhakai Allah dan RasulNya, serta melanggar ketentuan (hukum-hukum)
Allah dan rasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka,
sedangkan mereka akan kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang amat menghinakan.
Ayat tersebut merupakan ayat yang mengiringi
hukum-hukum Allah menyangkut penentuanpara ahli waris, tahapan pembagian warisan serta forsi masing-masing ahli
waris, yangmenekankan kewajiban
melaksanakan pembagian warisan sebagaimana yang ditentukan Allah,yang
disertai ancaman bagi yang melanggar ketentuan
tersebut. Sebaliknya bagi hamba yangmengikuti ketentuanNya, Allah menjanjikan surga.
Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya : Barangsiapa yang tidak menerapkan hokum waris yang telah
diatur Allah SWT,maka ia tidak akan mendapat warisan surga, (muttafak
alaih)
2 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, Jiid III, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1993), hlm. 57.
3 Mahmud Yunus, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta:
PT. Hidakarya Agung, 1989),
hlm. 5.
Dalam tradisi Arab pra Islam, hukum yang
diberlakukan menyangkut ahli warismereka
menetapkan bahwa wanita dan anak-anak tidak memperoleh bagian warisan,
dengan alasan mereka tidak atau belum dapat berperang guna
mempertahankan diri, suku atau kelompoknya, 4 oleh
karena itu yang berhak mewarisi adalah laki-laki yang berfisik kuat dan dapat memanggul senjata untuk mengalahkan musuh
dalam setiap peperangan.5 Konsekwensinya perempuan, anak-anak dan orang tua renta tidak berhak
mewarisi harta peninggalan
kerabatnya.
Islam datang
membawa panji keadilan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan,anak-anak, orang
dewasa, orang yang tua renta, suami, isteri saudara laki-laki dan saudara
perempuan sesuai tingkatan masing-masing.
Dari berbagai
ketentuan dalam hukum kewarisan Islam, setidaknya ada lima azas(doktrin) yang
disepakati sebagai sesuatu yang dianggap menyifati hukum kewarisan Islam,yaitu
bersifat Ijbari, bilateral, individual, keadilan yang berimbang dan
akibat kematian.6
Makalah
ini akan membahas tentang "Keadilan Dalam Hukum Waris Islam",menyangkut forsi
laki-laki dan perempuan dalam satu tingkatan.
4 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris
Menurut Ajaran Islam, (Surabaya: Mutiara Ilmu, tt.), hlm. 15.
5 Ahmad Rofik,
Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 6.
6 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan
Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan AdatMinangkabau, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984), hlm. 24.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa pengertian keadilan?
2.
Bagaimana keadilan dalam hukum waris Islam?
3.
Apa saja ayat suci Al-Qur’an dan hadist yang memaparkannya?
BAB
II
KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM
KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM
A. Pengertian
Kata keadilan
berasal dari kata "'adala ",7 yang dalam
Al-Quran terkadang disebutkandalam bentuk perintah ataupun dalam bentuk kalimat
berita.8
Kata "'adala"
dalam Al-Qur'an disebutkan secara berulang-ulang sebanyak 28 kalidalam berbagai bentuknya, untuk
menyebutkan suatu keadaan yang lurus. Disebut luruskarena secara khusus kata tersebut bermakna penetapan hukum dengan
benar.9
Pada pokoknya, syari'ah bertujuan untuk
menegakkan perdamaian di muka bumidengan
mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang. Jadi,
perintah dan keadaan merupakan
tujuan mendasar bagi syari'ah.10
Dalam bahasa Indonesia,
keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan,perlakuan adil,
tidak berat sebelah, tidak berpihak, berpegang kepada kebenaran, proporsionaldll.11
Dalam hubungannya
dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yangmenyangkut dengan hukum kewarisan,
dapat diartikan bahwa keadilan merupakankeseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan
berdasarkan perolehan dankewajiban/keperluan.12
Dengan demikian
keadilan dalam hukum waris Islam merupakan ketentuan hukumIslam mengenai
peralihan harta warisan dari pewaris (pemilik harta yang meninggal dunia)
kepada para ahli waris yang bersifat proporsional dan berimbang.
B. Dasar Hukum Waris
Islam
Dasar utama hukum waris Islam adalah Al-Qur’an dan
Al-Hadis, khususnyamenyangkut forsi atau bagian masing-masing ahli waris.
Dalam QS. An-Nisa'
ayat 11, 12 dan 176. Allah berfirman:
7 Ali
Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur'an; Suatu Kajian Hukum Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 73.
8 Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 23.
9 Ali Parman, Op. Cit., hlm. 84.
10 Muhammad
Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan Sistem
Hukum Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), hlm. 77.
11 Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:
Balai Pustaka Cet. III, 1990), hlm. 6-7.
12 Amir Syarifuddin, Loc. Cit.
Artinya: Allah mensyariatkan bagimu tentang
pembagian pusaka untuk anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama
dengan bahagian dua orang anak perempuan. Dan apabila anak tersebut semuanya
perempuan (lebih dari dua orang), maka berilah
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan tersebut seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta. Dan untuk dua orang Ibu Bapa,
bagai mereka masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan,
apabila yang meninggakan itu
mempunyai anak. Apabila yang meninggal tersebut tidak mempunyai anak, sedangkan ahli waris hanya ibu
dan bapak, maka bagian ibu adalah
sepertiga. Apabila pewaris meninggalkan saudara, maka bagian ibu adalah seperenam. (Pembagian pembagian tersebut)
dilakukan setelah pelaksanaan wasiat yang dibuat pewaris serta setelah dibayarkan utangnya. Tentang orang
tuamu dan anak-anakmu, tidak
akan kamu ketahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) mendatangkan manfaat kepadamu.
(Ketentuan) ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari
harta-harta yang ditinggalkanisteri isterimu, apabila mereka tidak mempunyai anak.
Apabila mereka mempunyai anak, maka bagianmu (suami) adalah seperempat dari
harta-harta yang ditinggalkan isteri-isterimu, setelah dilaksanakan
wasiat dan dibayarkan utangnya. Para isteri memperoleh
seperempat bagian dari harta yang ditinggalkan apabila kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu meninggalkan anak maka isteri-isterimu memperoleh
seperdelapan bagian, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utang-utangmu.
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, namun tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi meninggalkan seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu
saja), maka maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi apabila saudara seibu tersebut lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam
sepertiga tersebut, sesudah dilaksanakan wasiat yang dibuat dan
dibayarkan utang yang dibuat,
dengan tidak memberikan mudharat (bagi ahli waris). Allah menetapkan yang demikian tersebut sebagai syarai
'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu tentang
Kalalah (tidak meninggalkan ayah dan anak), maka katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah, yaitu:
Jika seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak
(tetapi) mempunyai(seorang saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan tersebut seperdua dari harta yang ditinggalkan, dan saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan). Jika ia tidak
mempunyai anak, tetapimempunyai dua orang saudara perempuan, maka bagi
mereka dua pertiga danharta yang ditinggalkannya. Dan Jika ahli warisnya
terdiri dari seorang saudaralaki-laki dan saudara perempuan, maka bahagian seorang
saudara laki-laki adalahdua bahagian dari saudara perempuan. Alah menerangkan
hukum ini kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Ayat-ayat tentang
kewarisan tersebut di atas merupakan ketentuan Allah secara umum ('Am)
menyangkut siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris berdasarkan hubungan kekerabatan
seperti ayah, ibu, anak, dan saudara, ataupun karena hubungan perkawinan (suami/isteri). Selain dari pada itu
juga menentukan tentang berapa besar bagian masing masing ahli waris dan langkah apa saja yang dilakukau sebelum menentukan
harta peninggalan pewaris baru
dikatakan sebagai harta warisan (terlebih dahulu menyelesaikan wasiat pewaris dan membayarkan utang pewaris).
Selain dari pada
itu, dalam ayat di atas juga digariskan bahwa forsi seorang laki-laki sama
dengan forsi dua orang perempuan dalam satu tingkatan, baik dalam tingkatan
anak,saudara
ataupun antara swami dengan isteri.
Diantara hukum waris Islam yang
bersumber dari Hadis Nabi Muhammad Saw.,adalah
sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.:
Artinya : Nabi Muhammad Saw. bersabda: "
Berikanlah harta pusaka kepada orang yang berhak. Sisanya untuk (orang)
laki-laki yang lebih utama.
Hadist tersebut mengatur tentang peralihan harta dari pewaris kepada ahli
waris,setelah itu jika terdapat sisa, maka
forsi laki-laki lebih besar dari forsi perempuan.
13 M. Fuad Abdul
Baqi, Al-lu’lu wa al Marjan, Juz II, (Kairo: dar al-Ihya al-Kutub
a1-’ Arabiyah, tt.,), hlm. 183.
C. Keadilan Dalam Hukum Waris Islam
Sebagaimana yang
telah dikemukakan terdahulu bahwa keadilan merupakan salah satu asas (doktrin)
dalam hukum waris Islam, yang disimpulkan dari kajian mendalam tentang prinsip-prinsip
dasar yang terkandung dalam hukum tentang kewarisan.
Hal yang paling
menonjol dalam pembahasan tentang keadilan menyangkut hukumKewarisan Islam
adalah tentang hak sama-sama dan saling mewarisi antara laki-laki danperempuan serta
perbandingan 2 : 1 (baca 2 banding 1) antara forsi laki-laki dan perempuan.
Asas keadilan
dalam hukum Kewarisan Islam mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan
antara hak yang diperoleh dan harta warisan dengan kewajiban atau beban kehidupan yang
harus ditanggungnya/ditunaikannya diantara para ahli waris , 14karena
itu arti keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari kesamaan tingkatan
antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar-kecilnya beban
atau tanggungjawab diembankan kepada mereka, ditinjau dari keumuman keadaan/kehidupan
manusia.
Jika dikaitkan
dengan definisi keadilan yang dikemukakan Amir Syarifuddin sebagai"keseimbangan
antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengankeperluan dan
kegunaan", 15 atau perimbangan antara beban dan
tanggung jawab diantara ahli waris yang sederajat, maka kita akan melihat bahwa
keadilan akan nampak pada pelaksanaanpembagian harta warisan menurut Islam.
Rasio perbandingan
2 : 1, tidak hanya berlaku antara anak laki-laki dan perempuan saja,melainkan juga
berlaku antara suami isteri, antara bapak-ibu serta antara saudara lelaki dansaudara perempuan,16 yang
kesemuanya itu mempunyai hikmah apabila dikaji dan ditelitisecara mendalam.17
Dalam kehidupan
masyarakat muslim, laki-laki menjadi penanggung jawab nafkahuntuk keluarganya, berbeda dengan
perempuan. Apabila perempuan tersebut berstatusgadis/masih belum menikah, maka ia menjadi tanggung jawab orang tua
ataupun
14 Ahmad
Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi'i, Hazairin
dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2003), hlm. 25.
15 Juga
merupakan salah setu intisari kuliah perdana Capita Selekta Hukum Islam Magister
Ilmu Hukum Semester IV, Universitas Muhammadiyah Jakarta yang disampaikan Prof. DR. H.
Abdullah Syah, MA tanggal 2 April 2005 di Kampus UMSU-Medan.
16 Cholil
Umam, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel
Suci, 1994), hlm. 101.
17 Masjfuk
Zuhdi, Masail Fiqhyah, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1997), hlm. 207.
walinya ataupun saudara laki-lakinya. Sedangkan
setelah seorang perempuan menikah, maka ia berpindah akan menjadi
tangguag jawab suaminya (laki-laki).
Syari'at Islam tidak
mewajibkan perempuan untuk menafkahkan hartanya bagikepentingan dirinya
ataupun kebutuhan anak-anaknya, meskipun is tergolong mampu/kaya,jika ia telah bersuami,18 sebab
memberi nafkah (tempat tinggal, makanan dan pakaian)keluarga merupakan kewajiban yang dibebankan syara' kepada suami
(laki-laki setelah iamenikah).
Dalam QS. At-Thalaq ayat 6 Allah berfirman:
Artinya: "Tempatkanlah (isterimu) dimana
kamu bertemp at tinggal berdasarkan kemampuanmu, dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka...
".
Dalam QS. Al- Baqarah ayat 233 Allah berfirman:
Artinya: "...Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan carayang ma 'ruf...
".
Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:
"Suami wajib
melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidupberumah tangga
sesuai dengan kemampuannya ".19
Sedangkan kewajiban isteri pada
dasarnya adalah mengatur urusan intern rumahtangga dengan sebaik-baiknya.20 Hal demikian juga
berlaku dalam kedudukan sebagai ayahdan
ibu pewaris.21
Dalam tingkatan anak, anak laki-laki yang belum
menikah, ia diwajibkan memberimahar22 dan segala persyaratan
pernikahan yang dibebankan pihak keluarga calon isterikepadanya. Setelah
menikah, maka beban menafkahi isteri (dan anak-anaknya) kelak akandiletakkan
dipundaknya.
18 Ash-Shabuni, Op. Cit., hlm. 13.
19 Bunyi dan maksud yang sama juga terdapat dalam
Pasal 80 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan pada Pasal 80
ayat (4) KHI diuraikan tentang kewajiban suami memberi nafkah, kiswah, maskan,
biaya kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak dan biaya kesehatan, sesuai dengan
kemampuan suami
20 Lihat Pasa134 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo
Pasal 83 ayat (2) KHI.
21 Sayuti
Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafindo, 1995), hlm. 119.
22 Pasal 30 KHI menyebutkan: "Calon
mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita, yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh
kedua belah pihak".
Sebaliknya anak
perempuan, dengan forsi yang diperolehnya tersebut akan mendapatpenambahan dari
mahar yang akan didapatkannya apabila kelak ia menikah, selanjutnyasetelah menikah ia
(pada dasarnya) tidak dibebankan kewajiban menafkahi keluarganya ,bahkan sebaliknya
dia akan menerima nafkah dari suaminya, kondisi umum ini tidakmenafikan keadaan
sebaliknya, tapi jumlahnya tidak banyak.
Dari penjelasan
tersebut, jika dicontohkan secara konkrit adalah seorang anak laki-laki
memperoleh harta warisan bernilai uang Rp.20.000.000,- (dua puluh juta),
sedangkan saudaraperempuannya memperoleh Rp.10.000.000; (sepuluh juta)
berdasarkan ketentuan 2 : 1, maka ketika laki-laki tersebut akan menikah, ia akan
mengeluarkan biaya keperluan mahar sekitar Rp.5.000.000,- (lima juta
rupiah), jadi sisa harta dari bagian warisan yang ada pada laki-laki tersebut berjumlah
Rp.15.000.000; (lima belas juta rupiah). Sebaliknya saudara perempuannya yang memperoleh
bagian warisan Rp.10.000.000; (sepuluh juta rupiah) tersebut akan memperoleh tambahan
Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) disebabkan mahar yang diperolehnya dari laki-laki
yang menikah dengannya. Dengan demikian maka kedua-duanya (laki-laki dan perempuan) yang
memperoleh bagian warisan tersebut sama-sama memperoleh Rp.151 1`.000.000,-
(lima belas juta rupiah).
Dengan demikian
maka perempuan selain pemilik penuh dari kekayaan yang diwarisi dari orang tuanya
dan tidak ada pemaksaan/kewajiban untuk dibelanjakan, juga akan mendapatkan
tambahan dari mahar yang diberikan laki-laki yang akan menjadi suaminya
serta mendapatkan
hak nafkah dari suaminya tersebut.
Hal demikian menunjukkan bahwa keadilan dalam hukum
waris Islam bukan sajakeadilan yang bersifat distributif semata (yang menentukan besarnya forsi
berdasarkankewajiban yang dibebankan dalam
keluarga), akan tetapi juga bersifat commulatif, yaknibagian warisan juga diberikan kepada wanita dan
anak-anak. Hal tersebut berbeda denganhukum
warisan Yahudi, Romawi dan juga hukum adat pra Islam, bahkan sebagiannya hingga
sekarang masih berlaku.23
23 Muhammad Amin Summa,Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 124-125.
Jika dalam satu
kasus seorang anak (juga saudara) perempuan mendapat separuh dari harta
peninggalan, pada hakikatnya jauh lebih besar dari perolehan laki-laki, sebab
kekayaan laki-laki (termasuk dari bagian warisan) pada akhirnya akan pindah ke
tangan wanita dalam bentuk pangan, sandang dan papan, sehingga bahagian
laki-laki tersebut akan lebih dahulu habis. Sebaliknya kekayaan perempuan (dari pembagian
warisan tersebut) akan tetap utuh tak berkurang, jika diinginkannya,24 karena
pada hakikatnya perempuan mengambil bagian (warisan, harta laki-laki) dan
tidak memberi apa-apa, Ia mendapat bagian warisan dan memperoleh nafkah,
tidak sebaliknya.
Perbedaan yang
berdasarkan besar kecilnya beban dan tanggung jawab laki-laki danperempuan
sebagaimana diuraikan di atas, berdasar hukum kausalitas imbalan dan
tanggung jawab, bukan mengandung unsur diskriminasi. Forsi perempuan yang ditentukan
tersebut seimbang dengan kewajibannya. Sebab dalam Islam, kaum wanita pada
dasarnya dibebaskan dari memikul tanggungjawab ekonomi keluarga. Oleh
karena itu, jika seseorang menerima bagian waris tinggi, berarti hal itu merupakan
manifestasi dari tingkat kewajibannya, yang merupakan konsep perbedaan secara
sosiologis dalam masyarakat Islam.25
Di Indonesia
pernah dikemukakan wacana yang menyatakan perbandingan 2 : 1 bukan ketentuan yang
bersifat pasti dan tetap, sehingga dapat dikompromikan, diantaranya
Zainuddin Sardar yang menyatakan bahwa setiap rumusan hukum yang terdapat pada nash
Al-Qur' an dan Hadits terdiri dan unsur-unsur :
a. Unsur Normatif yang bersifat abadi dan universal,
berlaku untuk semua tempat dan waktu serta tidak berubah dan tidak dapat
diubah.
b. Unsur Hudud yang bersifat elastis sesuai dengan keadaan
waktu, tempat dan kondisisebagaimana kaidah:
Artinya: Perubahan hukum (dapat terjadi)
berdasarkan perubahan masa, temp at dankeadaan26
Oleh karena itu yang abadi dan universal ialah dalam
hukum waris Islam diantaranya norma tentang hak dan kedudukan anak laki-laki dan
perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tua. Sedangkan mengenai besarnya
bagian dalam perbandingan laki-laki dan perempuan dalam segala
tingkatan yang sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan.
24 Nashruddin Baidan, tafsir bi al-Ra yi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 65
25 Zainuddin Sardar, Masa Depan Islam,
(Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 203 dan 342.
26 Jalaluddin
Abdurrahman as-Suyuthi, AI Asybah wa an Nadhoir (Indonesia;
Syirkah Nur Asia, tt), hal. 72.
Meski demikian, pada kenyataannya rumusan Pasal 176
KHI yang dijadikan hukummateril di lingkungan Peradilan Agama, ketentuan 2 : 1
tidak bergeser.27
Ketentuan 176 KHI
yang tetap mempertahankan forsi 2 : 1 antara anak laki-laki dan anak perempuan
dilatarbelakangi para penyusun ataupun ahli hukum Islam yang terlibat
dalam penyusunan
pasal 176 KHI meyakini ketentuan ayat tersebut bersifat Sarih/tafsil dangath
'i, berdasarkan
pada teori standar konvensional yang menyebutkan "perbedaan jumlah bagian
anak perempuan dengan anak laki-laki berdasarkan hukum imbalan dan tanggung
jawab", seperti yang telah diuraikan di atas.
Dalam hukum waris
Islam juga ditentukan bagian Ibu dan bapak yang berhak mewarisibersama anak dengan
keturunannya, dalam arti Ibu dan bapak sama-sama mewarisi dengan forsi yang
berimbang, yakni sama-sama memperoleh 1/6 dari harta warisan, apabila
pewaris meninggalkan
anak laki-laki. Jika tidak ada, maka ibu mendapat 1/3 dan untuk bapak
sisanya 2/3, karma bapak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberi nafkah
untuk ibu.28
Walaupun dalam
hukum waris Islam ditentukan forsi 1 : 1 (satu banding satu) antara bagian ayah dan
bagian ibu, yakni sama-sama memperoleh 1/6 bagian, akan tetapi dalam pelaksanaannya/penerapannya
masih memperhatikan keadilan atas dasar hak dan kewajiban, yakni beban dan
tanggung jawab laki-laki lebih besar dibanding perempuan.
Oleh karena itu akan dinilai adil jika bagian ayah
lebih besar dibandingkan bagian ibu,seperti dalam kasus apabila pewaris meninggalkan ahli
waris : suami, ibu dan bapak. Dalam kasus demikian, asal masalah adalah enam, dimana suami
memperoleh Y2 (3 bagian), ibu memperoleh 1/3 dari sisa (1 bagian) dan
ayah mendapat sisa (2 bagian).
27 Ibid., hlm. 121.
28 Mamud Yunus, Op. Cit., hlm. 92.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
1. Azas " Keadilan berimbang", dalam hukum
waris Islam menentukan laki-laki danperempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris,
dengan forsi yang berbeda.
2. Berdasarkan nash yang gath 'i, maka adil dan berimbang yang dimaksudkan dalam hukum waris Islam adalah
bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (forsi 2 : 1 antara laki-laki
dan perempuan).
3. Perbedaan forsi tersebut tidak disebabkan persoalan
gender, melainkan atas perbedaan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada
laki-laki lebih besar dibandingkan dengan yang dibebankan kepada perempuan dalam konteks
masyarakat Islam, sesuai teori standar konvensional yang menyebutkan
:"Semakin besar dan berat beban yang dipikul seorang laki-laki, maka
semakin besar pula hak yang akan diperolehnya", disebabkan biaya
yang harus dikeluarkannya untuk mengemban tanggung jawab dimaksud lebih
besar.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofik, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1998).
Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan
Islam: Syafi'i, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2003).
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur'an; Suatu Kajian
Hukum Dengan Pendekatan TafsirTematik, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995).
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Islam Dalam Lingkungan AdatMinangkabau, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984).
Cholil Umam, Agama Menjawab Tantangan Berbagai
Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994).
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka Cet. III, 1990).
H. Abdullah Syah, Kuliah perdana Capita Selekta Hukum
Islam Magister Ilmu Hukum Semester IV, Universitas Muhammadiyah Jakarta yang
disampaikan tanggal 2 April 2005 di Kampus UMSU-Medan.
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum
Kewarisan Islam (Jakarta; PT. DuniaPustaka Jaya, 1995).
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Al Asybah wa an-Nadhoir (Indonesia;
Syirkah NurAsia, tt.).
M. Fuad Abdul Baqi, AI-lu 'lu wa al Marjan, Juz
II, (Kairo: dar al-Ihya al-Kutub al=`Arabiyah, tt.,).
Mahmud Yunus, Hukum Warisan Dalam Islam,
(Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989).Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhyah, (Jakarta:
PT. Gunung Agung, 1997).
________________ Studi Islam, Jilid III,
(Jakarta: PT. RajaGrafmdo, 1993).
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris
Menurut Ajaran Islam, (Surabaya: MutiaraIlmu, tt.).
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Di
Dunia Islam, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2004).
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan
Pemikiran Orientalis; StudiPerbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana,
1991).Nashruddin Baidan, tafsir bi al-Ra
yi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafmdo, 1995).Zainuddin Sardar, Masa
Depan Islam, (Bandung: Pustaka, 1987).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar