Sabtu, 07 Mei 2016

Manusia dan Keadilan

MAKALAH
Keadilan Hukum Waris dalam Islam







TEMA: Manusia dan Keadilan
Disusun Oleh:
Nama : Bayu Aji Pangestu
Kelas : 1TA02
NPM : 11315275

UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN TEKNIK SIPIL
2016


KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, pengatur alam semesta, seluruh isi langit dan bumi. Dialah Yang Maha Kekal, tidak akan rusak dan tidak akan mati, yang telah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan." (Maryam: 40)
Semoga shalawat dan salam tetap Allah anugerahkan kepada sang pembawa cahaya, perintis kemanusiaan dan penunjuk jalan, junjungan kita Muhammad saw. Dengannyalah Allah SWT menghilangkan kesesatan dan kegelapan, dan dengannyalah Allah mengeluarkan umat manusia dari kegelapan kepada alam yang terang benderang.
Semoga shalawat dan salam juga Allah berikan kepada seluruh kerabatnya, para sahabatnya, dan siapa pun yang mengikuti jejaknya.
Makalah saya buat atas dasar tugas yang diberikan oleh dosen Hukum Islam, dan membahas tentang keadilan dalam Hukum Waris Islam. Saya bermohon kepada Allah semoga buku ini dapat bermanfaat khususnya bagi para mahasiswa, dan umumnya bagi seluruh kaum muslim yang memiliki keinginan untuk mengetahui dengan pasti mengenai faraid (ilmu yang mengatur pembagian harta pusaka).
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar semua doa dan Maha Mampu untuk memenuhinya.


      Jakarta, Mei 2016



Penyusun
























KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
Kematian atau meninggal dunia adalah suatu peristiwa yang pasti akan dialami olehsetiap manusia, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia.Namun yang menjadi permasalahan adalah jika orang tersebut meninggal dunia denganmeninggalkan harta yang lazim disebut harta warisan ataupun tirkah, dengan cara apa kitahendak menyelesaikan atau membagi harta warisan tersebut, hukum apa yang akan kitaterapkan dalam penyelesaian harta warisan itu.
Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur segala sisi kehidupan manusia, bahkan dalam hal yang berkaitan dengan peralihan harta yang ditinggalkan seorang manusia, setelah manusia tersebut meninggal dunia. Hukum yang membahas tentang peralihan harta tersebut dalam ilmu hukum disebut hukum kewarisan, atau dikenal juga dngan hukum faraid.
Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendifinisikan bahwa hukum kewarisan ialahseperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telahmeninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebutberdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat dalam al-Qur'an dan penjelasannya yangdiberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebut Faraidl.l
Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan:
"Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris ".
Dari kedua definisi tersebut dapat diketahui bahwa hukum kewarisan Islammerupakan hukum yang mengatur tentang peralihan kepemilikan harta dari orang yang telahmeninggal dunia kepada orang yang masih hidup (yang berhak menerimanya), yang mencakup
1 Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta; PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm. 3-4

apa saja yang menjadi harta warisan, siapa-siapa saja yang berhak menerima, berapa besar forsi atau bagian masing-masing ahli waris, kapan dan bagaimana tata cara pengalihannya.
Warisan menurut sebagian besar ahli hukum Islam ialah semua harta benda yangditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berupa benda bergerak maupun bendatetap, termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.2
Allah Swt. memerintakan agar setiap orang yang beriman mengikuti ketentuan­ketentuan Allah menyangkut hukum kewarisan sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an dan menjanjikan siksa neraka bagi orang yang melanggar peraturan ini.3
Dalam Q.S. An-Nisa' ayat 13 dan 14 Allah berfirman:
Artinya : Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barang siapa yangta'at pada (hukum-hukum) Allah dan RasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka (akan) kekal di dalamnya. Dan yang demikian tersebut merupakan kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, serta melanggar ketentuan (hukum-hukum) Allah dan rasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan mereka akan kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang amat menghinakan.
Ayat tersebut merupakan ayat yang mengiringi hukum-hukum Allah menyangkut penentuanpara ahli waris, tahapan pembagian warisan serta forsi masing-masing ahli waris, yangmenekankan kewajiban melaksanakan pembagian warisan sebagaimana yang ditentukan Allah,yang
disertai ancaman bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Sebaliknya bagi hamba yangmengikuti ketentuanNya, Allah menjanjikan surga.
Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya : Barangsiapa yang tidak menerapkan hokum waris yang telah diatur Allah SWT,maka ia tidak akan mendapat warisan surga, (muttafak alaih)
2 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, Jiid III, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993), hlm. 57.
3 Mahmud Yunus, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989),
hlm. 5.

Dalam tradisi Arab pra Islam, hukum yang diberlakukan menyangkut ahli warismereka menetapkan bahwa wanita dan anak-anak tidak memperoleh bagian warisan, dengan alasan mereka tidak atau belum dapat berperang guna mempertahankan diri, suku atau kelompoknya, 4 oleh karena itu yang berhak mewarisi adalah laki-laki yang berfisik kuat dan dapat memanggul senjata untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperangan.5 Konsekwensinya perempuan, anak-anak dan orang tua renta tidak berhak mewarisi harta peninggalan kerabatnya.
Islam datang membawa panji keadilan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan,anak-anak, orang dewasa, orang yang tua renta, suami, isteri saudara laki-laki dan saudara perempuan sesuai tingkatan masing-masing.
Dari berbagai ketentuan dalam hukum kewarisan Islam, setidaknya ada lima azas(doktrin) yang disepakati sebagai sesuatu yang dianggap menyifati hukum kewarisan Islam,yaitu bersifat Ijbari, bilateral, individual, keadilan yang berimbang dan akibat kematian.6
Makalah ini akan membahas tentang "Keadilan Dalam Hukum Waris Islam",menyangkut forsi laki-laki dan perempuan dalam satu tingkatan.
4 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, (Surabaya: Mutiara Ilmu, tt.), hlm. 15.
5 Ahmad Rofik, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 6.
6 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan AdatMinangkabau, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984), hlm. 24.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.        Apa pengertian keadilan?
2.        Bagaimana keadilan dalam hukum waris Islam?
3.        Apa saja ayat suci Al-Qur’an dan hadist yang memaparkannya?






 BAB II
KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM
 A. Pengertian
Kata keadilan berasal dari kata "'adala ",7 yang dalam Al-Quran terkadang disebutkandalam bentuk perintah ataupun dalam bentuk kalimat berita.8
Kata "'adala" dalam Al-Qur'an disebutkan secara berulang-ulang sebanyak 28 kalidalam berbagai bentuknya, untuk menyebutkan suatu keadaan yang lurus. Disebut luruskarena secara khusus kata tersebut bermakna penetapan hukum dengan benar.9
Pada pokoknya, syari'ah bertujuan untuk menegakkan perdamaian di muka bumidengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang. Jadi, perintah dan keadaan merupakan tujuan mendasar bagi syari'ah.10
Dalam bahasa Indonesia, keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan,perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak, berpegang kepada kebenaran, proporsionaldll.11
Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yangmenyangkut dengan hukum kewarisan, dapat diartikan bahwa keadilan merupakankeseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan berdasarkan perolehan dankewajiban/keperluan.12
Dengan demikian keadilan dalam hukum waris Islam merupakan ketentuan hukumIslam mengenai peralihan harta warisan dari pewaris (pemilik harta yang meninggal dunia) kepada para ahli waris yang bersifat proporsional dan berimbang.
B. Dasar Hukum Waris Islam
Dasar utama hukum waris Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis, khususnyamenyangkut forsi atau bagian masing-masing ahli waris.
Dalam QS. An-Nisa' ayat 11, 12 dan 176. Allah berfirman:
7 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur'an; Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 73.
8 Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 23.
9 Ali Parman, Op. Cit., hlm. 84.
10 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), hlm. 77.
11 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka Cet. III, 1990), hlm. 6-7.
12 Amir Syarifuddin, Loc. Cit.
Artinya: Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. Dan apabila anak tersebut semuanya perempuan (lebih dari dua orang), maka berilah mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan tersebut seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang Ibu Bapa, bagai mereka masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, apabila yang meninggakan itu mempunyai anak. Apabila yang meninggal tersebut tidak mempunyai anak, sedangkan ahli waris hanya ibu dan bapak, maka bagian ibu adalah sepertiga. Apabila pewaris meninggalkan saudara, maka bagian ibu adalah seperenam. (Pembagian pembagian tersebut) dilakukan setelah pelaksanaan wasiat yang dibuat pewaris serta setelah dibayarkan utangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, tidak akan kamu ketahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) mendatangkan manfaat kepadamu. (Ketentuan) ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta-harta yang ditinggalkanisteri isterimu, apabila mereka tidak mempunyai anak. Apabila mereka mempunyai anak, maka bagianmu (suami) adalah seperempat dari harta-harta yang ditinggalkan isteri-isterimu, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utangnya. Para isteri memperoleh seperempat bagian dari harta yang ditinggalkan apabila kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu meninggalkan anak maka isteri-isterimu memperoleh seperdelapan bagian, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, namun tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi apabila saudara seibu tersebut lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga tersebut, sesudah dilaksanakan wasiat yang dibuat dan dibayarkan utang yang dibuat, dengan tidak memberikan mudharat (bagi ahli waris). Allah menetapkan yang demikian tersebut sebagai syarai 'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu tentang Kalalah (tidak meninggalkan ayah dan anak), maka katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, yaitu:
Jika seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak (tetapi) mempunyai(seorang saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan tersebut seperdua dari harta yang ditinggalkan, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan). Jika ia tidak mempunyai anak, tetapimempunyai dua orang saudara perempuan, maka bagi mereka dua pertiga danharta yang ditinggalkannya. Dan Jika ahli warisnya terdiri dari seorang saudaralaki-laki dan saudara perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki adalahdua bahagian dari saudara perempuan. Alah menerangkan hukum ini kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat-ayat tentang kewarisan tersebut di atas merupakan ketentuan Allah secara umum ('Am) menyangkut siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris berdasarkan hubungan kekerabatan seperti ayah, ibu, anak, dan saudara, ataupun karena hubungan perkawinan (suami/isteri). Selain dari pada itu juga menentukan tentang berapa besar bagian masing masing ahli waris dan langkah apa saja yang dilakukau sebelum menentukan harta peninggalan pewaris baru dikatakan sebagai harta warisan (terlebih dahulu menyelesaikan wasiat pewaris dan membayarkan utang pewaris).
Selain dari pada itu, dalam ayat di atas juga digariskan bahwa forsi seorang laki-laki sama dengan forsi dua orang perempuan dalam satu tingkatan, baik dalam tingkatan anak,saudara ataupun antara swami dengan isteri.
Diantara hukum waris Islam yang bersumber dari Hadis Nabi Muhammad Saw.,adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.:
Artinya : Nabi Muhammad Saw. bersabda: " Berikanlah harta pusaka kepada orang yang berhak. Sisanya untuk (orang) laki-laki yang lebih utama.
Hadist tersebut mengatur tentang peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris,setelah itu jika terdapat sisa, maka forsi laki-laki lebih besar dari forsi perempuan.
13 M. Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu wa al Marjan, Juz II, (Kairo: dar al-Ihya al-Kutub a1-’ Arabiyah, tt.,), hlm. 183.

C. Keadilan Dalam Hukum Waris Islam
Sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu bahwa keadilan merupakan salah satu asas (doktrin) dalam hukum waris Islam, yang disimpulkan dari kajian mendalam tentang prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam hukum tentang kewarisan.
Hal yang paling menonjol dalam pembahasan tentang keadilan menyangkut hukumKewarisan Islam adalah tentang hak sama-sama dan saling mewarisi antara laki-laki danperempuan serta perbandingan 2 : 1 (baca 2 banding 1) antara forsi laki-laki dan perempuan.
Asas keadilan dalam hukum Kewarisan Islam mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta warisan dengan kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditanggungnya/ditunaikannya diantara para ahli waris , 14karena itu arti keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari kesamaan tingkatan antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar-kecilnya beban atau tanggungjawab diembankan kepada mereka, ditinjau dari keumuman keadaan/kehidupan manusia.
Jika dikaitkan dengan definisi keadilan yang dikemukakan Amir Syarifuddin sebagai"keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengankeperluan dan kegunaan", 15 atau perimbangan antara beban dan tanggung jawab diantara ahli waris yang sederajat, maka kita akan melihat bahwa keadilan akan nampak pada pelaksanaanpembagian harta warisan menurut Islam.
Rasio perbandingan 2 : 1, tidak hanya berlaku antara anak laki-laki dan perempuan saja,melainkan juga berlaku antara suami isteri, antara bapak-ibu serta antara saudara lelaki dansaudara perempuan,16 yang kesemuanya itu mempunyai hikmah apabila dikaji dan ditelitisecara mendalam.17
Dalam kehidupan masyarakat muslim, laki-laki menjadi penanggung jawab nafkahuntuk keluarganya, berbeda dengan perempuan. Apabila perempuan tersebut berstatusgadis/masih belum menikah, maka ia menjadi tanggung jawab orang tua ataupun
14 Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan IslamSyafi'i, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2003), hlm. 25.
15 Juga merupakan salah setu intisari kuliah perdana Capita Selekta Hukum Islam Magister Ilmu Hukum Semester IV, Universitas Muhammadiyah Jakarta yang disampaikan Prof. DR. H. Abdullah Syah, MA tanggal 2 April 2005 di Kampus UMSU-Medan.
16 Cholil Umam, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad Modern(Surabaya: Ampel Suci, 1994), hlm. 101.
17 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhyah, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1997), hlm. 207.

walinya ataupun saudara laki-lakinya. Sedangkan setelah seorang perempuan menikah, maka ia berpindah akan menjadi tangguag jawab suaminya (laki-laki).
Syari'at Islam tidak mewajibkan perempuan untuk menafkahkan hartanya bagikepentingan dirinya ataupun kebutuhan anak-anaknya, meskipun is tergolong mampu/kaya,jika ia telah bersuami,18 sebab memberi nafkah (tempat tinggal, makanan dan pakaian)keluarga merupakan kewajiban yang dibebankan syara' kepada suami (laki-laki setelah iamenikah).
Dalam QS. At-Thalaq ayat 6 Allah berfirman:
Artinya: "Tempatkanlah (isterimu) dimana kamu bertemp at tinggal berdasarkan kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka... ".
Dalam QS. Al- Baqarah ayat 233 Allah berfirman:
Artinya: "...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan carayang ma 'ruf... ".
Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:
"Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidupberumah tangga sesuai dengan kemampuannya ".19
Sedangkan kewajiban isteri pada dasarnya adalah mengatur urusan intern rumahtangga dengan sebaik-baiknya.20 Hal demikian juga berlaku dalam kedudukan sebagai ayahdan ibu pewaris.21
Dalam tingkatan anak, anak laki-laki yang belum menikah, ia diwajibkan memberimahar22 dan segala persyaratan pernikahan yang dibebankan pihak keluarga calon isterikepadanya. Setelah menikah, maka beban menafkahi isteri (dan anak-anaknya) kelak akandiletakkan dipundaknya.
18 Ash-Shabuni, Op. Cit., hlm. 13.
19 Bunyi dan maksud yang sama juga terdapat dalam Pasal 80 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan pada Pasal 80 ayat (4) KHI diuraikan tentang kewajiban suami memberi nafkah, kiswah, maskan, biaya kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak dan biaya kesehatan, sesuai dengan kemampuan suami
20 Lihat Pasa134 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 83 ayat (2) KHI.
21 Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafindo, 1995), hlm. 119.
22 Pasal 30 KHI menyebutkan: "Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita, yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak".

Sebaliknya anak perempuan, dengan forsi yang diperolehnya tersebut akan mendapatpenambahan dari mahar yang akan didapatkannya apabila kelak ia menikah, selanjutnyasetelah menikah ia (pada dasarnya) tidak dibebankan kewajiban menafkahi keluarganya ,bahkan sebaliknya dia akan menerima nafkah dari suaminya, kondisi umum ini tidakmenafikan keadaan sebaliknya, tapi jumlahnya tidak banyak.
Dari penjelasan tersebut, jika dicontohkan secara konkrit adalah seorang anak laki-laki memperoleh harta warisan bernilai uang Rp.20.000.000,- (dua puluh juta), sedangkan saudaraperempuannya memperoleh Rp.10.000.000; (sepuluh juta) berdasarkan ketentuan 2 : 1, maka ketika laki-laki tersebut akan menikah, ia akan mengeluarkan biaya keperluan mahar sekitar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah), jadi sisa harta dari bagian warisan yang ada pada laki-laki tersebut berjumlah Rp.15.000.000; (lima belas juta rupiah). Sebaliknya saudara perempuannya yang memperoleh bagian warisan Rp.10.000.000; (sepuluh juta rupiah) tersebut akan memperoleh tambahan Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) disebabkan mahar yang diperolehnya dari laki-laki yang menikah dengannya. Dengan demikian maka kedua-duanya (laki-laki dan perempuan) yang memperoleh bagian warisan tersebut sama-sama memperoleh Rp.151            1`.000.000,- (lima belas juta rupiah).
Dengan demikian maka perempuan selain pemilik penuh dari kekayaan yang diwarisi dari orang tuanya dan tidak ada pemaksaan/kewajiban untuk dibelanjakan, juga akan mendapatkan tambahan dari mahar yang diberikan laki-laki yang akan menjadi suaminya serta mendapatkan hak nafkah dari suaminya tersebut.
Hal demikian menunjukkan bahwa keadilan dalam hukum waris Islam bukan sajakeadilan yang bersifat distributif semata (yang menentukan besarnya forsi berdasarkankewajiban yang dibebankan dalam keluarga), akan tetapi juga bersifat commulatif, yaknibagian warisan juga diberikan kepada wanita dan anak-anak. Hal tersebut berbeda denganhukum warisan Yahudi, Romawi dan juga hukum adat pra Islam, bahkan sebagiannya hingga sekarang masih berlaku.23
23 Muhammad Amin Summa,Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 124-125.

Jika dalam satu kasus seorang anak (juga saudara) perempuan mendapat separuh dari harta peninggalan, pada hakikatnya jauh lebih besar dari perolehan laki-laki, sebab kekayaan laki-laki (termasuk dari bagian warisan) pada akhirnya akan pindah ke tangan wanita dalam bentuk pangan, sandang dan papan, sehingga bahagian laki-laki tersebut akan lebih dahulu habis. Sebaliknya kekayaan perempuan (dari pembagian warisan tersebut) akan tetap utuh tak berkurang, jika diinginkannya,24 karena pada hakikatnya perempuan mengambil bagian (warisan, harta laki-laki) dan tidak memberi apa-apa, Ia mendapat bagian warisan dan memperoleh nafkah, tidak sebaliknya.
Perbedaan yang berdasarkan besar kecilnya beban dan tanggung jawab laki-laki danperempuan sebagaimana diuraikan di atas, berdasar hukum kausalitas imbalan dan tanggung jawab, bukan mengandung unsur diskriminasi. Forsi perempuan yang ditentukan tersebut seimbang dengan kewajibannya. Sebab dalam Islam, kaum wanita pada dasarnya dibebaskan dari memikul tanggungjawab ekonomi keluarga. Oleh karena itu, jika seseorang menerima bagian waris tinggi, berarti hal itu merupakan manifestasi dari tingkat kewajibannya, yang merupakan konsep perbedaan secara sosiologis dalam masyarakat Islam.25
Di Indonesia pernah dikemukakan wacana yang menyatakan perbandingan 2 : 1 bukan ketentuan yang bersifat pasti dan tetap, sehingga dapat dikompromikan, diantaranya Zainuddin Sardar yang menyatakan bahwa setiap rumusan hukum yang terdapat pada nash Al-Qur' an dan Hadits terdiri dan unsur-unsur :
a.    Unsur Normatif yang bersifat abadi dan universal, berlaku untuk semua tempat dan waktu serta tidak berubah dan tidak dapat diubah.
b.    Unsur Hudud yang bersifat elastis sesuai dengan keadaan waktu, tempat dan kondisisebagaimana kaidah:
Artinya: Perubahan hukum (dapat terjadi) berdasarkan perubahan masa, temp at dankeadaan26
Oleh karena itu yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam diantaranya norma tentang hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tua. Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam perbandingan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan yang sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan.
24 Nashruddin Baidan, tafsir bi al-Ra yi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 65
25 Zainuddin Sardar, Masa Depan Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 203 dan 342.
26 Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, AI Asybah wa an Nadhoir (Indonesia; Syirkah Nur Asia, tt), hal. 72.

Meski demikian, pada kenyataannya rumusan Pasal 176 KHI yang dijadikan hukummateril di lingkungan Peradilan Agama, ketentuan 2 : 1 tidak bergeser.27
Ketentuan 176 KHI yang tetap mempertahankan forsi 2 : 1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dilatarbelakangi para penyusun ataupun ahli hukum Islam yang terlibat dalam penyusunan pasal 176 KHI meyakini ketentuan ayat tersebut bersifat Sarih/tafsil dangath 'i, berdasarkan pada teori standar konvensional yang menyebutkan "perbedaan jumlah bagian anak perempuan dengan anak laki-laki berdasarkan hukum imbalan dan tanggung jawab", seperti yang telah diuraikan di atas.
Dalam hukum waris Islam juga ditentukan bagian Ibu dan bapak yang berhak mewarisibersama anak dengan keturunannya, dalam arti Ibu dan bapak sama-sama mewarisi dengan forsi yang berimbang, yakni sama-sama memperoleh 1/6 dari harta warisan, apabila pewaris meninggalkan anak laki-laki. Jika tidak ada, maka ibu mendapat 1/3 dan untuk bapak sisanya 2/3, karma bapak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberi nafkah untuk ibu.28
Walaupun dalam hukum waris Islam ditentukan forsi 1 : 1 (satu banding satu) antara bagian ayah dan bagian ibu, yakni sama-sama memperoleh 1/6 bagian, akan tetapi dalam pelaksanaannya/penerapannya masih memperhatikan keadilan atas dasar hak dan kewajiban, yakni beban dan tanggung jawab laki-laki lebih besar dibanding perempuan.
Oleh karena itu akan dinilai adil jika bagian ayah lebih besar dibandingkan bagian ibu,seperti dalam kasus apabila pewaris meninggalkan ahli waris : suami, ibu dan bapak. Dalam kasus demikian, asal masalah adalah enam, dimana suami memperoleh Y2 (3 bagian), ibu memperoleh 1/3 dari sisa (1 bagian) dan ayah mendapat sisa (2 bagian).
27 Ibid., hlm. 121.
28 Mamud Yunus, Op. Cit., hlm. 92.



BAB III
KESIMPULAN
1.           Azas " Keadilan berimbang", dalam hukum waris Islam menentukan laki-laki danperempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris, dengan forsi yang berbeda.
2.           Berdasarkan nash yang gath 'i, maka adil dan berimbang yang dimaksudkan dalam hukum waris Islam adalah bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (forsi 2 : 1 antara laki-laki dan perempuan).
3.           Perbedaan forsi tersebut tidak disebabkan persoalan gender, melainkan atas perbedaan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada laki-laki lebih besar dibandingkan dengan yang dibebankan kepada perempuan dalam konteks masyarakat Islam, sesuai teori standar konvensional yang menyebutkan :"Semakin besar dan berat beban yang dipikul seorang laki-laki, maka semakin besar pula hak yang akan diperolehnya", disebabkan biaya yang harus dikeluarkannya untuk mengemban tanggung jawab dimaksud lebih besar.



DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofik, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998).
Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi'i, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2003).
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur'an; Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan TafsirTematik, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995).
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan AdatMinangkabau, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984).
Cholil Umam, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994).
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka Cet. III, 1990).
H. Abdullah Syah, Kuliah perdana Capita Selekta Hukum Islam Magister Ilmu Hukum Semester IV, Universitas Muhammadiyah Jakarta yang disampaikan tanggal 2 April 2005 di Kampus UMSU-Medan.
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta; PT. DuniaPustaka Jaya, 1995).
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Al Asybah wa an-Nadhoir (Indonesia; Syirkah NurAsia, tt.).
M. Fuad Abdul Baqi, AI-lu 'lu wa al Marjan, Juz II, (Kairo: dar al-Ihya al-Kutub al=`Arabiyah, tt.,).
Mahmud Yunus, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989).Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhyah, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1997).
________________ Studi Islam, Jilid III, (Jakarta: PT. RajaGrafmdo, 1993).
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, (Surabaya: MutiaraIlmu, tt.).
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2004).
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran OrientalisStudiPerbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991).Nashruddin Baidan, tafsir bi al-Ra yi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).


Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafmdo, 1995).Zainuddin Sardar, Masa Depan Islam, (Bandung: Pustaka, 1987).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar