Jumat, 26 Oktober 2018

Aspek Hukum Dalam Pembangunan

TUGAS 1
ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN










Kelompok 5
       Anggota:
1. Ahmad Luthfi Mubarok                    (10315348)
2. Annisa Fauziyah                              (10315869)
3. Ashar Muallidiniyah                         (11315087)
4. Bayu Aji Pangestu                           (11315275)
5. Bobby Febe Utama                          (11315386)
6. Ludhan Wijaya                                 (13315872)
7. Novia Nurfatika Sari                         (15315127)
8. Willy Putra Dellly                              (17315158)


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
TAHUN 2018/2019
ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
Definisi Hukum-Hukum Dalam Pembangunan
Tata Hukum berasal dari bahasa Belanda “recht orde  merupakan susunan hukum, yang artinya memberikan tempat sebenarnya kepada hukum, yaitu dengan menyusun lebih baik, dan tertib aturan hukum – aturan hukum  dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa hakikat pembangunan dalam arti seluas-luasnya yaitu meliputi segala segi dari kehidupan masyarakat dan tidak terbatas pada satu segi kehidupan. Masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan sehingga peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau bahkan kombinasi dari kedua-duanya, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Jika dikaji secara substansial, maka teori hukum pembangunan merupakan hasil modifikasi dari Teori Roscoe Pound Law as a tool of social enginering yang di negara Barat yang dikenal sebagai aliran Pragmatig legal realism yang kemudian diubah menjadi hukum sebagai sarana pembangunan. Hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan disamping fungsi hukum untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban (order).
Pelaksanaan jasa konstruksi selain telah diatur secara peraturan perundang-undangan permasalahan jasa konstruksi juga harus memenuhi beberapa aspek hukum, yaitu Keperdataan, Administrasi Negara, Pidana, Ketenagakerjaan dan aspek hukum lain yang mengatur sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan jasa konstruksi.
Pada pelaksanaan Jasa Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum :
a.   Keperdataan, menyangkut tentang sahnya suatu perjanjian yang berkaitan dengan kontrak pekerjaan jasa konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan, sertifikasi dan harus merupakan kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian.
b.   Administrasi Negara, menyangkut tantanan administrasi yang harus dilakukan dalam memenuhi proses pelaksanaan kontrak dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang konstruksi.
c.   Ketenagakerjaan, menyangkut tentang aturan ketenagakerjaaan terhadap para pekerja pelaksana jasa konstruksi.
d.   Pidana, menyangkut tentang tidak adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah pidana.

Mengenai hukum kontrak konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian persetujuan dan Undang-Undang. Serta dalam suatu perjanjian dianut asas kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya suatu perjanjian adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, mengatur tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :
1.   Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.   Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;
3.   Suatu hal tertentu;
4.   Suatu sebab yang diperkenankan.

A.                  Kontrak Kerja Konstruksi
Pengaturan hubungan kerja konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi dibuat sekurang-kurangnya harus mencakup uraian adanya:


1.           Para pihak
2.           Isi atau rumusan pekerjaan
3.           Jangka pertanggungan dan/atau pemeliharaan
4.           Tenaga ahli
5.           Hak dan kewajiban para pihak
6.           Tata cara pembayaran
7.           Cidera janji
8.           Penyelesaian tentang perselisihan
9.           Pemutusan kontrak kerja konstruksi
10.        Keadaan memaksa (force majeure)
11.        Tidak memenuhi kualitas dan kegagalan bangunan
12.        Perlindungan tenaga kerja
13.        Perlindungan aspek lingkungan.

Formulasi rumusan pekerjaan meliputi lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan. Rincian lingkup kerja ini meliputi :
a.           Volume pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan
b.           Persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi
c.           Persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa
d.           Pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat
e.           Laporan hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. Sedangkan, nilai pekerjaan yakni mencakup jumlah besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan.

B.                  Peraturan Perundang-Undangan Dalam Jasa Konstruksi
Berikut beberapa peraturan yang terdapat atau mengatur tentang jasa konstruksi di Indonesia :
1.           Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
2.           PP No.28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
3.           PP No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
4.           PP No.30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi
5.           Kepres RI No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berikut perubahannya
6.           Kepmen KIMPRASWIL No.339/KPTS/M/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi oleh Instansi Pemerintah
7.           Surat Edaran Menteri PU No.08/SE/M/2006 perihal Pengadaan Jasa Konstruksi untuk Instansi Pemerintah Tahun Anggaran 2006
8.           Peraturan Menteri PU No. 50/PRT/1991 tentang Perizinan Perwakilan Perusahaan Jasa Konstruksi Asing.

C.                  Permasalahan Hukum Dalam Jasa Konstruksi
Jasa konstruksi memiliki berbagai permasalahan yang perlu diatasi berdasarkan aspek hokum yang terkait, berikut merupakan permasalahan hokum dalam jasa konstruksi :
1.           Aspek Hukum Perdata
Pada umumnya adalah terjadinya permasalahan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum. Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan (kontrak), baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu :
a.   Karena kesalahan salah satu pihak baik karena kesengajaan maupun karena kelalain
b.   Karena keadaan memaksa (force majeur), jadi diluar kemampuan para pihak, jadi tidak bersalah.

Perbuatan Melawan Hukum adalah perbuatan yang sifatnya langsung melawan hukum, serta perbuatan yang juga secara langsung melanggar peraturan lain daripada hukum. Pengertian perbuatan melawan hukum, yang diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata pasal 1401 BW Belanda hanya ditafsirkan secara sempit yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena Undang-Undang (onwetmatig).

2.           Aspek Hukum Pidana
Bilamana terjadi cidera janji terhadap kontrak, yakni tidak dipenuhinya isi kontrak, maka mekanisme penyelesaiannya dapat ditempuh sebagaimana yang diatur dalam isi kontrak karena kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang memembuatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada UUJK pada bab X yang mengatur tentang sanksi dimana pada pasal 43 ayat (1), (2), dan (3). Yang secara prinsip isinya sebagaimana berikut, barang siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (saat berlangsungnya pekerjaan) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan diserahterimakan), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5 % (lima persen) untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak untuk perencanaan dan pengawasan, dari pasal ini dapat dilihat penerapan Sanksi pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir bilamana terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan karena ada pilihan lain yaitu denda.
Dalam hal lain memungkinkan terjadinya bila tidak dipenuhinya suatu pekerjaan sesuai dengan isi kontrak terutama merubah volume dan matrial memungkinkan terjadinya unsur Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan, yaitu yang diatur dalam ;
a.   Pasal 378 KUHP (penipuan), “ Barang siapa dengan maksud untuk mengantungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hokum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.
b.   Pasal 372 KUHP (penggelapan), “ Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yag seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“

3.           Pidana Korupsi, persoalannya selama ini cidera janji selalu dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dalam hal kontrak kerja konstruksi untuk proyek yang dibiayai uang negara baik itu APBD atau APBN dimana cidera janji selalu dihubungkan dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20 Tahun 2001, Pasal 2 ayat (1) yang menjelaskan unsur-unsurnya adalah :
a.   Perbuatan melawan hukum
b.   Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
c.    Merugikan keuangan Negara atau perekonomian
d.   Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Dalam kasus pidana korupsi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana pasal tersebut harus dapat dibuktikan secara hukum formil apakah tindakan seseorang dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sehingga dapat memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat menyebabkan kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara.
Kemudian institusi yang berhak untuk menentukan kerugian Negara dapat dilihat di UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK yang menyebutkan : BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Jika BPK menemukan kerugian Negara tetapi tidak ditemukan unsur pidana sebagaimana UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20 Tahun 2001, maka aparat penyidik dapat memberlakukan pasal 32  ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yaitu : Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
Pasal ini memberikan kesempatan terhadap gugatan perdata untuk perbuatan hukum yang tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi, namun perbuatan tersebut dapat dan atau berpotensi menimbulkan kerugian negara. Sehingga dapat ditarik kesimpulan apabila terjadi kerugian negara maka upaya penuntutan tindak pidana korupsi bukan merupakan satu-satunya cara, akan tetapi ada cara penyelesaian yang lain yaitu cara penyelesaian masalah melalui gugatan perdata.

4.           Aspek Sanksi Administratif
Sanksi administratif yang dapat dikenakan atas pelanggaran Undang-Undang Jasa Konstruksi yaitu :
1.   Peringatan tertulis
2.   Penghentian sementara pekerjaan konstruksi
3.   Pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi
4.   Larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi dikenakan bagi pengguna jasa.
5.   Pembekuan Izin Usaha dan atau Profesi
6.   Pencabutan Izin Usaha dan atau Profesi.

PRIORITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
Prioritas Pembangunan Nasional Dalam Bidang Infrastruktur dan Kebijakan Pemerintah Dalam Infrastuktur
Infrastruktur merupakan salah satu motor pendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan peningkatan daya saing di dunia internasional, disamping sektor lain seperti minyak dan gas bumi, jasa keuangan dan manufaktur. Melalui kebijakan dan komitmen pembangunan infrastruktur yang tepat, maka hal tersebut diyakini dapat membantu mengurangi masalah kemiskinan, mengatasi persoalan kesenjangan antar-kawasan maupun antar-wilayah, memperkuat ketahanan pangan, dan mengurangi tekanan urbanisasi yang secara keseluruhan bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Infrastruktur dapat didefinisikan sebagai kebutuhan dasar fisik pengorganisasian sistim struktur yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor publik dan sektor privat, sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan, agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik. Istilah umumnya merujuk kepada hal infrastruktur teknis atau fisik yang mendukung jaringan struktur seperti fasilitas antara lain dapat berupa jalan ,kereta api,air bersih, bandara, kanal, waduk tanggul, pengelolahan limbah, perlistrikan, telekomunikasi, Pelabuhan.secara fungsional, infrastruktur selain fasilitasi,dapat pula mendukung berupa kelancaran aktifitas ekonomi masyarakat, distritibusi aliran produksi barang dan jasa sebagai contoh bahwa jalan dapat melancarkan transportasi pengiriman bahan baku sampai ke pabrik kemudian untuk distribusi ke pasar hingga sampai kepada masyarakat.
Pembangunan infrastruktur mempunyai manfaat langsung untuk peningkatan taraf hidup masyarakat dan kualitas lingkungan, karena semenjak tahap konstruksi telah dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekaligus menggerakkan sektor riil. Sementara pada masa layanan, berbagai multiplier ekonomi dapat dibangkitkan melalui kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur. Infrastruktur yang telah terbangun tersebut pada akhirnya juga memperbaiki kualitas permukiman dan lingkungan. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur pada dasarnya dimaksudkan untuk mencapai 3 (tiga) strategic goals yaitu:
1.           Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan dan memperluas lapangan kerja;
2.           Meningkatkan pertumbuhan ekonomi kota dan desa, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran pusat-pusat pertumbuhan ekonomi desa dan meningkatkan akses infrastruktur bagi pertumbuhan ekonomi lokal;
3.           Meningkatkan kualitas lingkungan, yang bermaksud untuk mengurangi luas kawasan kumuh, perdesaan, daerah perbatasan, kawasan terpencil, dan pulau-pulau kecil.
Secara konseptual, kebijakan paket infrastruktur ini bisa dikatakan cukup memadai, bahkan bisa dikatakan cukup komprehensif karena menyentuh banyak aspek strategis terkait pengembangan infrastruktur. Namun, tentu saja paket ini tidak otomatis berjalan dengan sendirinya karena masih berfungsi seperti “blueprint” saja, yang perlu tindak lanjut manajemen pemerintahan di lapangan. Terkait dengan paket tersebut, ada beberapa kritik yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam penyusunan kebijakan infrastruktur.
Pertama, sejak tahun 2005, pemerintah sudah memulai membuat kebijakan mengenai infrastruktur, yaitu peningkatan peran swasta dalam pembangunan infrastruktur. Sebenarnya kebijakan ini bagus dan sangat realistis karena kehadiran swasta diperlukan pada saat anggaran pemerintah mengalami keterbatasan. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan bahwa dana untuk pembangunan infrastruktur kurang dan tidak bisa diambil dari dana APBN saja. Namun, pada perkembangan selanjutnya, yaitu tahun 2005 sampai sekarang, kebijakan ini hanya menjadi kebijakan tertulis tanpa ada implementasi dan realisasi dari kebijakan tersebut. Sudah dapat dipastikan bahwa hasil dari kebijakan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Selama ini peran swasta sama sekali belum dirasakan memadai, bahkan bisa dikatakan hampir nihil karena paket kebijakan tersebut sepertinya hanya berada pada tataran konsep saja. Implementasi paket kebijakan infrastruktur menjadi lebih penting dari sekadar konsep.
Kedua, paket kebijakan pemerintah yang sangat krusial dan paling sulit adalah dalam hal pengadaan tanah. Dalam pengadaan tanah ini pemerintah hampir bisa dikatakan tidak bisa menyelesaikan secara maksimal. Hal ini terjadi karena pemerintah harus berhadapan dengan dinamika transisi demokrasi kurang terarah dan eforia reformasi yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat, atas nama reformasi, berani menentang dan memberontak keras terhadap berbagai inisiatif yang datang dari negara. Ketika pembangunan infrastruktur melewati tanah rakyat, negosiasi sangat sulit dilakukan, padahal kebutuhan barang publik begitu mendesak.
Ketiga, pemerintah harus membuat dan mempunyai target untuk mendukung rencana induk pengembangan infrastruktur. Hal ini bisa dikatakan tidak terlalu sulit karena pemerintah sudah mempunyai cetak biru, seperti pembangunan jalan tol, pasar, saluran air, dan jembatan.
Keempat, masalah lain yang kemudian muncul dalam kebijakan pembangunan infrastruktur adalah masalah kelembagaan dan regulasi. Untuk masalah ini, pemerintah sudah membentuk semacam komisi pengembangan infrastruktur. Kelembagaan baru ini semestinya lebih produktif memfasilitasi koordinasi antarmenteri atau departemen. Akan tetapi, semua itu bermuara pada implementasi di lapangan. Justru kelemahan selama ini adalah dalam implementasi kebijakan yang langsung pada injeksi modal dan memulai proyek. Kebijakan yang selama ini sudah ada tampaknya belum dapat diimplementasikan dengan baik.
Prioritas pertama, pemerintah meminta pemda memberikan fasilitas dan kemudahan dalam menjalankan roda bisnis di daerah, yang diterapkan dalam wujud pemangkasan mekanisme penanaman modal di Indonesia yang akan memberatkan investor. Prioritas kedua adalah peningkatan pembangunan proyek infrastruktur di seluruh Indonesia guna menunjang jalannya roda perputaran bisnis dan penyaluran produk di seluruh wilayah Indonesia, terutama Indonesia Timur, serta upaya pemerintah pusat dan daerah untuk melindungi dan membantu meringankan beban golongan menengah ke bawah yang mengalami kesulitan dalam perekonomian.
Menurut Stone dalam Kodoatie (2003) mendefinisikan insfrastruktur sebagai fasilitas-fasilitas fisik yang dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsi-fungsi pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah dan pelayanan lainnya untuk memfasilitasi tujuan-tujuan ekonomi dan sosial. Infrastruktur merupakan pendukung utama dalam menunjang partisipasi investor, baik lokal maupun internasional agar menanamkan modal di Indonesia, sehingga berdampak pada bergairahnya arus perputaran modal dan akan menurunkan tingkat pengangguran di Indonesia. Secara filosofis, pemerintah memiliki tujuan yang berorientasi pada kesejahteraan serta keadilan bagi segenap lapisan rakyat. Dengan pembangunan ini diharapkan, pertumbuhan ekonomi makro dapat ditingkatkan, yang sekarang berkisar antara 4-5 % naik signifikan hingga menyentuh angka tujuh persen per tahun. Selain itu, adanya pembangunan infrastruktur yang merata dapat mentransformasikan kesan jawa-sentris yang identik dengan pembangunan Indonesia yang terpusatkan di wilayah Jawa menjadi Indonesia-sentris dengan pembangunan yang merata dan diutamakan daerah terpinggirkan sehingga dapat menghilangkan kesenjangan antara pembangunan di pulau Jawa dengan pembangunan di laur pulau Jawa. Pembangunan yang merata juga memberikan kesan kehadiran pemerintah pusat dalam mengatasi salah satu problematika yang terjadi pada suatu daerah, yaitu masalah infrastruktur. Selain itu juga dapat meningkatkan kelancaran arus pergerakan barang dan manusia yang semakin terkoneksi dan harga transportasi semakin terjangkau dan pada akhirnya berdampak pada harga komoditas barang yang terjangkau, khususnya di daerah luar pulau Jawa.
Ambisi pemerintah dalam membangun infrastruktur nasional dibuktikan dengan upaya pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk menginisiasi pembuatan mekanisme percepatan penyediaan infrastuktur dan penerbitan regulasi terkait sebagai payung hukum yang mengaturnya. Dengan bantuan dari KPPIP (Komite Percepatan Penyediaan Infrastuktur Prioritas) adalah pemerintah dibantu dalam melakukan proses seleksi daftar proyek-proyek yang dianggap strategis dan memiliki urgensi tinggi serta diberikan fasilitas-fasilitas kemudahan pelaksanaan proyek. Diharapkan, proyek-proyek strategis dapat direalisasikan dengan cepat. Melalui KPPIP, proyek pembangunan memiliki dua kedudukan yang terdiri atas Proyek Prioritas yang diatur melalui Peraturan Menko Perekonomian dan Proyek Strategis Nasional yang diatur melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 58 tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Dalam produk hukum ini dapat dilihat bahwa program infrastruktur pemerintah terdiri atas bermacam bidang seperti: Jalan tol, jalan non-tol, sarana dan prasarana kereta api, bandar udara, pelabuhan, program perumahan, kilang minyak dan lain sebagainya; yang apabila di jumlah sebanyak 248 proyek.

Hiperealitas Kehidupan Politik Ekonomi Indonesia
Hiperealitas adalah istilah yang digunakan sosiolog asal Prancis, Jean Baudrilland, untuk menjelaskan keadaan yang realitas runtuh oleh rekayasa pencitraan, simulasi, dan halusinasi. Hasil rekayasa tersebut memiliki porsi dominan dan dianggap mengandung unsur kebenaran dari realitas sebenarnya. Hiperealitas digunakan untuk menutupi kesalahan-kesalahan pemerintah yang berkuasa dan dimanfaatkan untuk menggiring opini publik sehingga dampak negatif dari kebijakan yang dilakukan, tidak diketahui dan diacuhkan oleh masyarakat.
Hiperealitas adalah salah satu problematika negara Indonesia yang berujung pada penggiringan cara pandang masyarakat atas segala kebijakan yang diterapkan pemerintah. Implikasi media dalam menyukseskan politik hiprealitas menjadi faktor penting yang menjadi kunci atas keberhasilan politik tersebut. Kharakteristik bangsa Indonesia yang menjadikan media sebagai sumber utama dalam memperoleh berita-berita aktual dan kurangnya minat baca masyarakat atas ilmu pengetahuan menyebabkan kurangnya nalar kritis masyarakat dalam menganalisa realitas yang ada sehingga menimbulkan sentimen aktualisasi media yang diberitakan telah berdasar pada realitas yang ada dan diberitakan melalui berbagai macam sudut pandang. Akan tetapi, realitas yang ada menunjukkan bahwa terdapat intervensi pemerintah dalam politik media informasi terhadap berita aktual yang disampaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Rahman. 2014. http://rahmanamin1984.blogspot.com/2014/03/teori-hukum-pembangunan.html. Diakses pada 21 Agustus 2018 pukul 20.00.
Fauzie, Khalil. 2013. http://khalil-fauzi.blogspot.com/2013/10/bab-2-uu-dan-peraturan-pembangunan.html. Diakses pada 22 Agustus 2018 pukul 16.20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar