TUGAS 1
ASPEK HUKUM DALAM
PEMBANGUNAN
Kelompok 5
Anggota:
1. Ahmad Luthfi Mubarok (10315348)
2. Annisa Fauziyah (10315869)
3. Ashar Muallidiniyah (11315087)
4. Bayu Aji Pangestu (11315275)
5. Bobby Febe Utama (11315386)
6. Ludhan Wijaya (13315872)
7. Novia Nurfatika Sari (15315127)
8. Willy Putra Dellly (17315158)
FAKULTAS TEKNIK SIPIL
DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
TAHUN 2018/2019
ASPEK
HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
Definisi
Hukum-Hukum Dalam Pembangunan
Tata
Hukum berasal dari bahasa Belanda “recht
orde” merupakan susunan hukum, yang
artinya memberikan tempat sebenarnya kepada hukum, yaitu dengan menyusun lebih
baik, dan tertib aturan hukum – aturan hukum
dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Mochtar
Kusumaatmadja menjelaskan bahwa hakikat pembangunan dalam arti seluas-luasnya
yaitu meliputi segala segi dari kehidupan masyarakat dan tidak terbatas pada
satu segi kehidupan. Masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan
sehingga peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan
itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur demikian dapat
dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau bahkan kombinasi
dari kedua-duanya, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum menjadi suatu alat yang
tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Jika dikaji secara substansial,
maka teori hukum pembangunan merupakan hasil modifikasi dari Teori Roscoe Pound Law as a tool of social
enginering yang di negara Barat yang dikenal sebagai aliran Pragmatig legal realism yang kemudian
diubah menjadi hukum sebagai sarana pembangunan. Hukum sebagai sarana
pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum berfungsi
sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah
kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan disamping fungsi
hukum untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban (order).
Pelaksanaan
jasa konstruksi selain telah diatur secara peraturan perundang-undangan permasalahan
jasa konstruksi juga harus memenuhi beberapa aspek hukum, yaitu Keperdataan,
Administrasi Negara, Pidana, Ketenagakerjaan dan aspek hukum lain yang mengatur
sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan jasa konstruksi.
Pada
pelaksanaan Jasa Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum :
a.
Keperdataan,
menyangkut tentang sahnya suatu perjanjian yang berkaitan dengan kontrak
pekerjaan jasa konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan,
sertifikasi dan harus merupakan kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian.
b.
Administrasi
Negara, menyangkut tantanan administrasi yang harus dilakukan dalam memenuhi
proses pelaksanaan kontrak dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang konstruksi.
c.
Ketenagakerjaan,
menyangkut tentang aturan ketenagakerjaaan terhadap para pekerja pelaksana jasa
konstruksi.
d.
Pidana,
menyangkut tentang tidak adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah
pidana.
Mengenai
hukum kontrak konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III
KUH Perdata mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada
Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari
perjanjian persetujuan dan Undang-Undang. Serta dalam suatu perjanjian dianut
asas kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari Pasal 1338
KUH Perdata yang menerangkan segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya suatu
perjanjian adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata,
mengatur tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :
1.
Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan ;
3.
Suatu
hal tertentu;
4.
Suatu
sebab yang diperkenankan.
A.
Kontrak
Kerja Konstruksi
Pengaturan
hubungan kerja konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus
dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi
dibuat sekurang-kurangnya harus mencakup uraian adanya:
1.
Para
pihak
2.
Isi
atau rumusan pekerjaan
3.
Jangka
pertanggungan dan/atau pemeliharaan
4.
Tenaga
ahli
5.
Hak
dan kewajiban para pihak
6.
Tata
cara pembayaran
7.
Cidera
janji
8.
Penyelesaian
tentang perselisihan
9.
Pemutusan
kontrak kerja konstruksi
10.
Keadaan
memaksa (force majeure)
11.
Tidak
memenuhi kualitas dan kegagalan bangunan
12.
Perlindungan
tenaga kerja
13.
Perlindungan
aspek lingkungan.
Formulasi
rumusan pekerjaan meliputi lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu
pelaksanaan. Rincian lingkup kerja ini meliputi :
a.
Volume
pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan
b.
Persyaratan
administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam
mengadakan interaksi
c.
Persyaratan
teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa
d.
Pertanggungan
atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara lain untuk pelaksanaan
pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat
e.
Laporan
hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan
dalam bentuk dokumen tertulis. Sedangkan, nilai pekerjaan yakni mencakup jumlah
besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan
keseluruhan lingkup pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu
untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan.
B.
Peraturan
Perundang-Undangan Dalam Jasa Konstruksi
Berikut beberapa peraturan yang terdapat
atau mengatur tentang jasa konstruksi di Indonesia :
1.
Undang-Undang
No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
2.
PP
No.28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
3.
PP
No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
4.
PP
No.30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi
5.
Kepres
RI No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah berikut perubahannya
6.
Kepmen
KIMPRASWIL No.339/KPTS/M/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa
Konstruksi oleh Instansi Pemerintah
7.
Surat
Edaran Menteri PU No.08/SE/M/2006 perihal Pengadaan Jasa Konstruksi untuk
Instansi Pemerintah Tahun Anggaran 2006
8.
Peraturan
Menteri PU No. 50/PRT/1991 tentang Perizinan Perwakilan Perusahaan Jasa
Konstruksi Asing.
C.
Permasalahan
Hukum Dalam Jasa Konstruksi
Jasa konstruksi memiliki berbagai
permasalahan yang perlu diatasi berdasarkan aspek hokum yang terkait, berikut
merupakan permasalahan hokum dalam jasa konstruksi :
1.
Aspek
Hukum Perdata
Pada umumnya adalah terjadinya permasalahan Wanprestasi dan
Perbuatan Melawan Hukum. Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang
telah ditetapkan dalam perikatan (kontrak), baik perikatan yang timbul karena
perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya
kewajiban itu ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu :
a.
Karena
kesalahan salah satu pihak baik karena kesengajaan maupun karena kelalain
b.
Karena
keadaan memaksa (force majeur), jadi
diluar kemampuan para pihak, jadi tidak bersalah.
Perbuatan Melawan Hukum adalah perbuatan yang sifatnya
langsung melawan hukum, serta perbuatan yang juga secara langsung melanggar
peraturan lain daripada hukum. Pengertian perbuatan melawan hukum, yang diatur
pada Pasal 1365 KUHPerdata pasal 1401 BW Belanda hanya ditafsirkan secara
sempit yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan yang
bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena Undang-Undang (onwetmatig).
2.
Aspek
Hukum Pidana
Bilamana terjadi cidera janji terhadap kontrak, yakni tidak
dipenuhinya isi kontrak, maka mekanisme penyelesaiannya dapat ditempuh
sebagaimana yang diatur dalam isi kontrak karena kontrak berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang memembuatnya. Hal ini juga dapat dilihat
pada UUJK pada bab X yang mengatur tentang sanksi dimana pada pasal 43 ayat
(1), (2), dan (3). Yang secara prinsip isinya sebagaimana berikut, barang siapa
yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang
tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan
konstruksi (saat berlangsungnya pekerjaan) atau kegagalan bangunan (setelah
bangunan diserahterimakan), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5
(lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5 % (lima persen) untuk
pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak
untuk perencanaan dan pengawasan, dari pasal ini dapat dilihat penerapan Sanksi
pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir bilamana terjadi
kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan karena ada pilihan lain
yaitu denda.
Dalam hal lain memungkinkan terjadinya bila tidak
dipenuhinya suatu pekerjaan sesuai dengan isi kontrak terutama merubah volume
dan matrial memungkinkan terjadinya unsur Tindak Pidana Penipuan dan
Penggelapan, yaitu yang diatur dalam ;
a.
Pasal
378 KUHP (penipuan), “ Barang siapa dengan maksud untuk mengantungkan diri
sendiri atau orang lain dengan melawan hokum, dengan memakai nama palsu atau martabat
palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan
orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi
hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun”.
b.
Pasal
372 KUHP (penggelapan), “ Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum
memiliki suatu benda yag seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“
3.
Pidana
Korupsi, persoalannya selama ini cidera janji selalu dikaitkan dengan tindak
pidana korupsi dalam hal kontrak kerja konstruksi untuk proyek yang dibiayai
uang negara baik itu APBD atau APBN dimana cidera janji selalu dihubungkan
dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU
No 20 Tahun 2001, Pasal 2 ayat (1) yang menjelaskan unsur-unsurnya adalah :
a.
Perbuatan
melawan hukum
b.
Melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
c.
Merugikan
keuangan Negara atau perekonomian
d.
Menyalahgunakan
kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan
kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Dalam kasus pidana korupsi unsur perbuatan melawan hukum
sebagaimana pasal tersebut harus dapat dibuktikan secara hukum formil apakah
tindakan seseorang dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sehingga dapat
memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat menyebabkan kerugian
keuangan Negara dan perekonomian Negara.
Kemudian institusi yang berhak untuk menentukan kerugian
Negara dapat dilihat di UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK yang menyebutkan : BPK menilai dan atau
menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai yang dilakukan bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga
lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Jika BPK menemukan kerugian Negara tetapi tidak ditemukan
unsur pidana sebagaimana UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo UU No 20 Tahun 2001, maka aparat penyidik dapat memberlakukan
pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999
yaitu : Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih
unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata
telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan
gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan
gugatan.
Pasal ini memberikan kesempatan terhadap gugatan perdata
untuk perbuatan hukum yang tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi, namun perbuatan
tersebut dapat dan atau berpotensi menimbulkan kerugian negara. Sehingga dapat
ditarik kesimpulan apabila terjadi kerugian negara maka upaya penuntutan tindak
pidana korupsi bukan merupakan satu-satunya cara, akan tetapi ada cara
penyelesaian yang lain yaitu cara penyelesaian masalah melalui gugatan perdata.
4.
Aspek
Sanksi Administratif
Sanksi administratif yang dapat
dikenakan atas pelanggaran Undang-Undang Jasa Konstruksi yaitu :
1.
Peringatan
tertulis
2.
Penghentian
sementara pekerjaan konstruksi
3.
Pembatasan
kegiatan usaha dan/atau profesi
4.
Larangan
sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi dikenakan bagi pengguna jasa.
5.
Pembekuan
Izin Usaha dan atau Profesi
6.
Pencabutan
Izin Usaha dan atau Profesi.
PRIORITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
Prioritas Pembangunan Nasional Dalam
Bidang Infrastruktur dan Kebijakan Pemerintah Dalam Infrastuktur
Infrastruktur merupakan salah satu motor pendorong pertumbuhan
ekonomi nasional dan peningkatan daya saing di dunia internasional, disamping
sektor lain seperti minyak dan gas bumi, jasa keuangan dan manufaktur. Melalui
kebijakan dan komitmen pembangunan infrastruktur yang tepat, maka hal tersebut
diyakini dapat membantu mengurangi masalah kemiskinan, mengatasi persoalan
kesenjangan antar-kawasan maupun antar-wilayah, memperkuat ketahanan pangan,
dan mengurangi tekanan urbanisasi yang secara keseluruhan bermuara pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Infrastruktur dapat didefinisikan sebagai kebutuhan dasar fisik
pengorganisasian sistim struktur yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor
publik dan sektor privat, sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan, agar
perekonomian dapat berfungsi dengan baik. Istilah umumnya merujuk kepada hal
infrastruktur teknis atau fisik yang mendukung jaringan struktur seperti
fasilitas antara lain dapat berupa jalan ,kereta api,air bersih, bandara,
kanal, waduk tanggul, pengelolahan limbah, perlistrikan, telekomunikasi,
Pelabuhan.secara fungsional, infrastruktur selain fasilitasi,dapat pula
mendukung berupa kelancaran aktifitas ekonomi masyarakat, distritibusi aliran
produksi barang dan jasa sebagai contoh bahwa jalan dapat melancarkan
transportasi pengiriman bahan baku sampai ke pabrik kemudian untuk distribusi
ke pasar hingga sampai kepada masyarakat.
Pembangunan infrastruktur mempunyai manfaat langsung untuk
peningkatan taraf hidup masyarakat dan kualitas lingkungan, karena semenjak
tahap konstruksi telah dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat
sekaligus menggerakkan sektor riil. Sementara pada masa layanan, berbagai multiplier
ekonomi dapat dibangkitkan melalui kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan
infrastruktur. Infrastruktur yang telah terbangun tersebut pada akhirnya juga
memperbaiki kualitas permukiman dan lingkungan. Dengan demikian, pembangunan
infrastruktur pada dasarnya dimaksudkan untuk mencapai 3 (tiga) strategic goals yaitu:
1.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dimaksudkan untuk
mengurangi kemiskinan dan memperluas lapangan kerja;
2.
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi kota dan desa, hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan peran pusat-pusat pertumbuhan ekonomi desa dan
meningkatkan akses infrastruktur bagi pertumbuhan ekonomi lokal;
3.
Meningkatkan kualitas lingkungan, yang bermaksud untuk mengurangi
luas kawasan kumuh, perdesaan, daerah perbatasan, kawasan terpencil, dan
pulau-pulau kecil.
Secara konseptual, kebijakan paket infrastruktur ini bisa
dikatakan cukup memadai, bahkan bisa dikatakan cukup komprehensif karena
menyentuh banyak aspek strategis terkait pengembangan infrastruktur. Namun,
tentu saja paket ini tidak otomatis berjalan dengan sendirinya karena masih
berfungsi seperti “blueprint” saja,
yang perlu tindak lanjut manajemen pemerintahan di lapangan. Terkait dengan
paket tersebut, ada beberapa kritik yang harus diperhatikan oleh pemerintah
dalam penyusunan kebijakan infrastruktur.
Pertama, sejak tahun 2005, pemerintah sudah memulai membuat
kebijakan mengenai infrastruktur, yaitu peningkatan peran swasta dalam
pembangunan infrastruktur. Sebenarnya kebijakan ini bagus dan sangat realistis
karena kehadiran swasta diperlukan pada saat anggaran pemerintah mengalami
keterbatasan. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan bahwa dana untuk
pembangunan infrastruktur kurang dan tidak bisa diambil dari dana APBN saja.
Namun, pada perkembangan selanjutnya, yaitu tahun 2005 sampai sekarang,
kebijakan ini hanya menjadi kebijakan tertulis tanpa ada implementasi dan
realisasi dari kebijakan tersebut. Sudah dapat dipastikan bahwa hasil dari
kebijakan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Selama ini peran
swasta sama sekali belum dirasakan memadai, bahkan bisa dikatakan hampir nihil
karena paket kebijakan tersebut sepertinya hanya berada pada tataran konsep
saja. Implementasi paket kebijakan infrastruktur menjadi lebih penting dari
sekadar konsep.
Kedua, paket kebijakan pemerintah yang sangat krusial dan paling
sulit adalah dalam hal pengadaan tanah. Dalam pengadaan tanah ini pemerintah
hampir bisa dikatakan tidak bisa menyelesaikan secara maksimal. Hal ini terjadi
karena pemerintah harus berhadapan dengan dinamika transisi demokrasi kurang
terarah dan eforia reformasi yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat, atas
nama reformasi, berani menentang dan memberontak keras terhadap berbagai
inisiatif yang datang dari negara. Ketika pembangunan infrastruktur melewati tanah
rakyat, negosiasi sangat sulit dilakukan, padahal kebutuhan barang publik
begitu mendesak.
Ketiga, pemerintah harus membuat dan mempunyai target untuk
mendukung rencana induk pengembangan infrastruktur. Hal ini bisa dikatakan
tidak terlalu sulit karena pemerintah sudah mempunyai cetak biru, seperti
pembangunan jalan tol, pasar, saluran air, dan jembatan.
Keempat, masalah lain yang kemudian muncul dalam kebijakan
pembangunan infrastruktur adalah masalah kelembagaan dan regulasi. Untuk
masalah ini, pemerintah sudah membentuk semacam komisi pengembangan
infrastruktur. Kelembagaan baru ini semestinya lebih produktif memfasilitasi
koordinasi antarmenteri atau departemen. Akan tetapi, semua itu bermuara pada
implementasi di lapangan. Justru kelemahan selama ini adalah dalam implementasi
kebijakan yang langsung pada injeksi modal dan memulai proyek. Kebijakan yang
selama ini sudah ada tampaknya belum dapat diimplementasikan dengan baik.
Prioritas pertama, pemerintah meminta
pemda memberikan fasilitas dan kemudahan dalam menjalankan roda bisnis di
daerah, yang diterapkan dalam wujud pemangkasan mekanisme penanaman modal di
Indonesia yang akan memberatkan investor. Prioritas kedua adalah peningkatan
pembangunan proyek infrastruktur di seluruh Indonesia guna menunjang jalannya
roda perputaran bisnis dan penyaluran produk di seluruh wilayah Indonesia,
terutama Indonesia Timur, serta upaya pemerintah pusat dan daerah untuk
melindungi dan membantu meringankan beban golongan menengah ke bawah yang
mengalami kesulitan dalam perekonomian.
Menurut Stone dalam Kodoatie (2003)
mendefinisikan insfrastruktur sebagai fasilitas-fasilitas fisik yang
dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsi-fungsi
pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah dan
pelayanan lainnya untuk memfasilitasi tujuan-tujuan ekonomi dan sosial.
Infrastruktur merupakan pendukung utama dalam menunjang partisipasi investor,
baik lokal maupun internasional agar menanamkan modal di Indonesia, sehingga
berdampak pada bergairahnya arus perputaran modal dan akan menurunkan tingkat
pengangguran di Indonesia. Secara filosofis, pemerintah memiliki tujuan yang
berorientasi pada kesejahteraan serta keadilan bagi segenap lapisan rakyat.
Dengan pembangunan ini diharapkan, pertumbuhan ekonomi makro dapat
ditingkatkan, yang sekarang berkisar antara 4-5 % naik signifikan hingga
menyentuh angka tujuh persen per tahun. Selain itu, adanya pembangunan
infrastruktur yang merata dapat mentransformasikan kesan jawa-sentris yang
identik dengan pembangunan Indonesia yang terpusatkan di wilayah Jawa menjadi
Indonesia-sentris dengan pembangunan yang merata dan diutamakan daerah
terpinggirkan sehingga dapat menghilangkan kesenjangan antara pembangunan di
pulau Jawa dengan pembangunan di laur pulau Jawa. Pembangunan yang merata juga
memberikan kesan kehadiran pemerintah pusat dalam mengatasi salah satu
problematika yang terjadi pada suatu daerah, yaitu masalah infrastruktur.
Selain itu juga dapat meningkatkan kelancaran arus pergerakan barang dan manusia
yang semakin terkoneksi dan harga transportasi semakin terjangkau dan pada
akhirnya berdampak pada harga komoditas barang yang terjangkau, khususnya di
daerah luar pulau Jawa.
Ambisi pemerintah dalam membangun
infrastruktur nasional dibuktikan dengan upaya pemerintah melalui Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian untuk menginisiasi pembuatan mekanisme
percepatan penyediaan infrastuktur dan penerbitan regulasi terkait sebagai
payung hukum yang mengaturnya. Dengan bantuan dari KPPIP (Komite Percepatan
Penyediaan Infrastuktur Prioritas) adalah pemerintah dibantu dalam melakukan
proses seleksi daftar proyek-proyek yang dianggap strategis dan memiliki
urgensi tinggi serta diberikan fasilitas-fasilitas kemudahan pelaksanaan
proyek. Diharapkan, proyek-proyek strategis dapat direalisasikan dengan cepat.
Melalui KPPIP, proyek pembangunan memiliki dua kedudukan yang terdiri atas
Proyek Prioritas yang diatur melalui Peraturan Menko Perekonomian dan Proyek
Strategis Nasional yang diatur melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia
No. 58 tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Dalam produk hukum ini dapat dilihat bahwa program infrastruktur pemerintah
terdiri atas bermacam bidang seperti: Jalan tol, jalan non-tol, sarana dan prasarana
kereta api, bandar udara, pelabuhan, program perumahan, kilang minyak dan lain
sebagainya; yang apabila di jumlah sebanyak 248 proyek.
Hiperealitas Kehidupan Politik Ekonomi Indonesia
Hiperealitas adalah istilah yang
digunakan sosiolog asal Prancis, Jean Baudrilland, untuk menjelaskan keadaan
yang realitas runtuh oleh rekayasa pencitraan, simulasi, dan halusinasi. Hasil
rekayasa tersebut memiliki porsi dominan dan dianggap mengandung unsur
kebenaran dari realitas sebenarnya. Hiperealitas digunakan untuk menutupi
kesalahan-kesalahan pemerintah yang berkuasa dan dimanfaatkan untuk menggiring
opini publik sehingga dampak negatif dari kebijakan yang dilakukan, tidak
diketahui dan diacuhkan oleh masyarakat.
Hiperealitas adalah salah satu
problematika negara Indonesia yang berujung pada penggiringan cara pandang
masyarakat atas segala kebijakan yang diterapkan pemerintah. Implikasi media
dalam menyukseskan politik hiprealitas menjadi faktor penting yang menjadi
kunci atas keberhasilan politik tersebut. Kharakteristik bangsa Indonesia yang
menjadikan media sebagai sumber utama dalam memperoleh berita-berita aktual dan
kurangnya minat baca masyarakat atas ilmu pengetahuan menyebabkan kurangnya
nalar kritis masyarakat dalam menganalisa realitas yang ada sehingga menimbulkan
sentimen aktualisasi media yang diberitakan telah berdasar pada realitas yang
ada dan diberitakan melalui berbagai macam sudut pandang. Akan tetapi, realitas
yang ada menunjukkan bahwa terdapat intervensi pemerintah dalam politik media
informasi terhadap berita aktual yang disampaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Rahman. 2014. http://rahmanamin1984.blogspot.com/2014/03/teori-hukum-pembangunan.html. Diakses pada 21 Agustus 2018 pukul
20.00.
Anonim. 2016. https://iksanteguhpramono.wordpress.com/2018/01/07/prioritas-pembangunan-nasional-dalam-bidang-infrastruktur-dan-kebijakan-pemerintah-dalam-infrastruktur/. diakses pada 22 Agustus 2018 pukul
16.00.
Fauzie, Khalil. 2013. http://khalil-fauzi.blogspot.com/2013/10/bab-2-uu-dan-peraturan-pembangunan.html. Diakses pada 22 Agustus 2018 pukul
16.20.
Pratama, Rizky. 2018. https://www.selasar.com/jurnal/43329/Hiperealitas-Pembangunan-Infrastruktur-Perebutan-Hak-Atas-Ruang-dalam-Pembangunan-Infrastruktur-Nasional. Diakses pada 26 Agustus 2018 pukul
19.00.