MAKALAH
Kekerasan Terhadap Anak
TEMA: Manusia dan Penderitaan
Disusun Oleh:
Nama : Bayu Aji Pangestu
Kelas : 1TA02
NPM : 11315275
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN
PERENCANAAN
JURUSAN TEKNIK SIPIL
2016
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puja dan
puji syukur saya kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah dan rahmatnya
saya dapat mengerjakan makalah ini dengan baik.
Dalam makalah kali ini, saya membuat
sebuah makalah yang sesuai dengan tema “Manusia dan Penderitaan”. Dalam makalah
ini, saya membahas tentang “Kekerasan Terhadap Anak”.
Dengan ini saya berharap makalah ini dapat membantu
mendapatkan informasi yang diinginkan oleh pembaca dan juga dapat menyelesaikan
tugas yang diberikan. Saya menerima saran dan kritik pada makalah ini untuk
penulisan makalah yang lebih baik lagi.
Jakarta, April 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Anak adalah tumpuan dan harapan orang tua. Anak jugalah yang
akan menjadi penerus bangsa ini. Sedianya, wajib dilindungi maupun diberikan
kasih sayang. Namun fakta berbicara lain. Maraknya kasus kekerasan pada anak
sejak beberapa tahun ini seolah membalikkan pendapat bahwa anak perlu
dilindungi. Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan keluarga,
lingkungan maupun masyarakat dewasa ini.
Pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminas”. Namun apakah pasal tersebut sudah dilaksanakan
dengan benar? Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia masih jauh dari kondisi
yang disebutkan dalam pasal tersebut.
Berbagai jenis kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti
kekerasan verbal, fisik, mental maupun pelecehan seksual. Ironisnya pelaku
kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang yang memiliki hubungan dekat
dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Tentunya
ini juga memicu trauma pada anak, misalnya menolak pergi ke sekolah setelah
tubuhnya dihajar ole gurunya sendiri.
Kondisi ini amatlah memprihatinkan, namun bukan berarti
tidak ada penyelesaiannya. Perlu koordinasi yang tepat di lingkungan sekitar
anak terutama pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak tanpa menggunakan
kekerasan, menyeleksi tayangan televisi maupun memberikan perlindungan serta
kasih sayang agar anak tersebut tidak menjadi anak yang suka melakukan
kekerasan nantinya. Tentunya kita semua tidak ingin negeri ini dipimpin oleh
pemimpin bangsa yang tidak menyelesaikan
kekerasan terhadap rakyatnya.
Persoalannya adalah sejauhmana hukum atau perundang-undangan Indonesia,
mengapresiasi terhadap fenomena tersebut,baik terhadap perbuatan, pelaku maupun
anak sebagai korban kekerasan.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut
di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang
2. Pengertian kekerasan terhadap anak
menurut para ahli
3. Faktor-faktor yang memicu kekerasan
terhadap anak
4. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap
anak
5. Dampak kekerasan terhadap anak
6. Perlindungan hukum terhadap anak
korban kekerasan
7. solusi pencegahan kekerasan terhadap
anak
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian anak menurut UU
Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak disebutkan bahwa :
“Anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”.
Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan dalam pasal 1 nomor 1 bahwa:
“Anak
adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur delapan tahun,
tetapi belum mencapai umur 18 tahun danbelum pernah kawin”.
Pengertian anak menurut UU No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tercantum dalam Pasal I butir I UU No.
23/2002 berbunyi:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Dalam pengertian dan batasan tentang anak sebagaimana dirumuskan dalam pasal I butir I UU No.23/2002 ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur definisi anak, yakni:
Dalam pengertian dan batasan tentang anak sebagaimana dirumuskan dalam pasal I butir I UU No.23/2002 ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur definisi anak, yakni:
Pertama, seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun. Dengan demikian, setiap orang yang telah
melewati batas usia 18 tahun, termasuk orang yang secara mental tidak cakap,
dikualifikasi sebagai bukan anak, yakni orang dewasa. Dalam hal ini, tidak
dipersoalkan apakah statusnya sudah kawin
atau tidak.
Kedua, anak yang masih dalam
kandungan. Jadi, UU No.23/2002 ini bukan hanya melindungi anak yang sudah lahir
tetapi diperluas, yakni termasuk anak dalam kandungan.
Pengertian dan batasan usia anak dalam UU No. 23/2002, bukan dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa yang masih anak-anak. Sebaliknya, dengan pendekatan perlindungan, maka setiap orang (every human being) yang berusia di bawah 18 tahun – selaku subyek hukum dari UU No. 23/2002 – mempunyai hak atas perlindungan dari Negara yang diwujudkan dengan jaminan hukum dalam UU No. 23/2002.
Pengertian dan batasan usia anak dalam UU No. 23/2002, bukan dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa yang masih anak-anak. Sebaliknya, dengan pendekatan perlindungan, maka setiap orang (every human being) yang berusia di bawah 18 tahun – selaku subyek hukum dari UU No. 23/2002 – mempunyai hak atas perlindungan dari Negara yang diwujudkan dengan jaminan hukum dalam UU No. 23/2002.
Hak Dan Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
1. Hak Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara. Hak-hak anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 di antaranya adalah:
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk bribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, peng-aniaya-an;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan /atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerassan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum atau bantuan lainnya.
1. Hak Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara. Hak-hak anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 di antaranya adalah:
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk bribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, peng-aniaya-an;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan /atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerassan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum atau bantuan lainnya.
2. Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Kewajiban berasal dari kata dasar “wajib” yang artinya harus melakukan; tidak boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan). Mendapat awalan ke- dan akhiran -an, menjadi kewajiban yang artinya sesuatu yang harus dilaksanakan. Jadi, kewajiban anak adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seorang anak.
Di antara kewajiban yang harus dilakukan oleh anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 adalah:
Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk:
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan Negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Kewajiban Orang Tua Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Orangtua sebagai orang terdekat anak berkewajiban melaksanakan kewajibannya. Orangtua tidak boleh hanya menuntut hak terhadap anak saja tetapi juga memiliki kewajiban yang harus ia laksanakan. Dalam UU No. 23 Tahun 2002 terdapat kewajiban orangtua yaitu tercantum dalam pasal 26 yang berbunyi:
(1) Orang tua berkewajiban dan berytanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewajiban berasal dari kata dasar “wajib” yang artinya harus melakukan; tidak boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan). Mendapat awalan ke- dan akhiran -an, menjadi kewajiban yang artinya sesuatu yang harus dilaksanakan. Jadi, kewajiban anak adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seorang anak.
Di antara kewajiban yang harus dilakukan oleh anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 adalah:
Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk:
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan Negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Kewajiban Orang Tua Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Orangtua sebagai orang terdekat anak berkewajiban melaksanakan kewajibannya. Orangtua tidak boleh hanya menuntut hak terhadap anak saja tetapi juga memiliki kewajiban yang harus ia laksanakan. Dalam UU No. 23 Tahun 2002 terdapat kewajiban orangtua yaitu tercantum dalam pasal 26 yang berbunyi:
(1) Orang tua berkewajiban dan berytanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.2 Pengertian kekerasan terhadap
anak menurut para ahli
Menurut
Sutanto (2006) kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang
lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak
berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari orangtua atau pengasuh yang
berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian. Kekerasan pada anak lebih
bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka
pada tubuh sang anak.
Nadia (2004)
mengartikan kekerasan anak sebagai bentuk penganiayaan baik fiisk maupun
psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan kasar yang mencelakakan anak dan
segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan
psikis adalah semua tindakan merendahkan/meremehkan anak.
Lebih lanjut
Hoesin (2006) melihat kekerasan anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap
hak-hak anak dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk
mencegahnya dapat dilakukan oleh para petugas hukum.
Sedangkan
Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari
orangtua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala
perlakuan terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan
dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental.
2.3
Faktor faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan
terhadap Anak
Ada banyak faktor kenapa terjadi kekerasan terhadap anak :
· Lemahnya
pengawasan orang tua terhadap anak dalam menonton tv, bermain dll. Hal ini
bukan berarti orang tua menjadi diktator/over protective, namun maraknya kriminalitas
di negeri ini membuat perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan
sekitar.
· Anak
mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu
· Kemiskinan keluarga (banyak anak).
· Keluarga pecah (broken Home) akibat perceraian, ketiadaan
Ibu dalam jangka panjang.
· Keluarga
yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan mendidik anak, anak yang
tidak diinginkan (Unwanted Child)atau anak lahir diluar nikah.
· Pengulangan
sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering memperlakukan anak-anaknya dengan
pola yang sama
· Kondisi
lingkungan yang buruk, keterbelakangan
· Kesibukan
orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa menjadi pemicu kekerasan
terhadap anak
· Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.
2.4. Bentuk
Kekerasan Terhadap Anak
1.Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan seperti ini mudah
diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh korban Kasus physical
abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15
tahun (16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda
panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini
selain menimbuBlkan luka dan trauma pada korban, juga seringkali membuat korban
meninggal
2. Kekerasan secara Verbal
Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap
biasa atau bahkan dianggap sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya
meliputi hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini
yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak menghormati
orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri.
3. Kekerasan secara Mental
Bentuk kekerasan seperti ini juga
sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara
verbal. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan
terendah usia 16-18 tahun
(0.9%) Kekerasaan seperti ini meliputi
pengabaian orang tua terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan,
maupun sering membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan
yang lain, bisa menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti
ini yaitu anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa
iri tanpa mampu untuk bangkit.
4.Pelecehan Seksual
Bentuk kekerasan seperti ini
biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti keluarga,
tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Kasus pelecehan eksual:
persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan
terendah usia 0-5 tahun
(7,7%).Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun
pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam,
juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.
Berikutnya hendak dikemukakan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak yang
ditetapkan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak,
yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk bentuk kekerasan terhadap
anak tersebut dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam
Pasal 77 s/d Pasal 89. Berbagai bentuk tindak pidana kekerasan pada anak dalam
UU Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:
(1) diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian
materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya (Pasal 77);
(2)penelantaran terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan fisk, mental, maupun social
(Pasal 77);
(3) membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengusian,
kerusuhan, bencana alam, dan/atau dalam situasi konflik bersengjata (Pasal 78);
(4) membiarkan anak yang berhadapan
dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anakyang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya
(napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, padahal anak tersebut
memerlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78);
(5) pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79);
(6)melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal
80);
(7) melakukan kekerasan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan (Pasal
81)
(8) melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul
(Pasal 82);
(9) memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau
untuk dijual (Pasal 83);
(10) melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak
lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara
melawan hukum(Pasal 84);
(11) melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak(Pasal
85);
(12) melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa
memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak
sebagai objeknya tanpa mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, secara
melawan hukum (Pasal 85);
(13) membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu
muslihat atau serangkaian kebohongan (Pasal 86);
(14) mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain (Pasal 88);
(15) menempatkan, membiarkan, melibatkan,menuruh melibatkan anak dalam
penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika, alkhohol,
dan/atau zat adiktif lainya (napza) (Pasal89).
2.5
Dampak dari Kekerasan pada Anak
Dampak
kekerasan pada anak yang diakibatkan oleh orangtuanya sendiri atau orang lain
sangatlah buruk antara lain:
1. Agresif.
Sikap ini biasa ditujukan anak
kepada pelaku kekerasan. Umumnya ditujukan saat anak merasa tidak ada orang
yang bisa melindungi dirinya. Saat orang yang dianggap tidka bisa melindunginya
itu ada disekitarnya, anak akan langsung memukul datau melakukan tindak agresif
terhadap si pelaku. Tetapi tidak semua sikap agresif anak muncul karena telah
mengalami tindak kekerasan.
2. Murung/Depresi
Kekerasan mampu membuat anak berubah
drastis seperti menjadi anak yang memiliki gangguan tidur dan makan, bahkan
bisa disertai penurunan berat badan. Ia akan menjadi anak yang pemurung,
pendiam, dan terlihat kurang ekspresif.
3. Memudah menangis
Sikap ini ditunjukkan karena anak
merasa tidka nyaman dan aman dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia
kehilangan figur yang bisa melindunginya, kemungkinan besar pada saat dia
besar, dia tidak akan mudah percaya pada orang lain.
4. Melakukan tindak kekerasan terhadap
orang lain
Dari semua ini anak dapat melihat
bagaimana orang dewasa memperlakukannya dulu. Ia belajar dari pengalamannya,
kemudian bereaksi sesuai dengan apa yang dia alami.
2.6.Perlindungan hukum terhadap anak
korban kekerasan
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi
dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara
manusiawi positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan
mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh
kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau
bersama para pelindungnya. (Arief Gosita, 1996:14).
Menurut
pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
disebutkan bahwa:
“Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.
Pada
umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan
langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan
non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung di antaranya
meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari
sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat
merugikan atau mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari
dalam dirinya atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial),
pemasyarakatan pendidikan formal dan informal, pengasuhan (asah, asih, asuh),
pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan.(Arief Gosita, 1996:6)
Sedangkan,
upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: pencegahan orang lain
merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan
perundang-undangan, peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak
serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga,
pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik dan
sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaan
perlindungan anak, penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan
anak.(Arief Gosita, 1996:7)
Kedua
upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya
perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari
perlindungan itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung
tentunya adalah anak secara langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak
langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan berkepentingan terhadap
perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina.
Demi
menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh dari
dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam
perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh
para partisipan tersebut.
Upaya-upaya
ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin pelaksanaan
perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait
seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan
dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.
Ditinjau
dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari
menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang
hukum perdata dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis,
meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
(Maulana Hassan Waddong, 2000:40)
Upaya perlindungan anak korban kekerasan baru mulai mendapat perhatian
penguasa, secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya UU Perlindungan Anak,
meski perlindungan itu masih memerlukan instrumen hukum lainnya guna
mengoperasionalkan perlidunngan tersebut.
Di samping adanya perlindungan yang bersifat abstrak (secara tidak
langsung) melalui pemberian sanksi pidana kepada pelaku kekerasan terhadap
anak, UU Perlindungan Anak juga menetapkan beberapa bentuk perlindungan yang
lain terhadap anak korban kekerasan. Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi:
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.
Kemudian dalam Pasal 18 disebutkan:
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak memperoleh
bantuan hukum dan bantuan lainnya”.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh UU (Pasal 17 ayat 2 dan Pasal 18)
hanya berupa kerahasiaan si anak, bantuan hukum dan bantuan lain. Hanya sayang,
bahwa makna kerahasiaan tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut.
Kemudian perlindungan yang berupa bantuan lainnya, dalam penjelasann Pasal
18, hanya disebutkan bahwa: “bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk
bantuan medik,, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”.
Dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan ditetapkan beberapa
bentuk perlidungan anak yang mencakup perlindungan agama, kesehatan, sosial,
dan pendidikan. Dalam perlindungan tersebut tidak disebutkan secara khusus
tentang perlindungan bagi anak korban kekerasan. Baru dalam bagian kelima
(Pasal 59-71) diatur tentang perlindungan khusus, namun sayangnya dalam
ketentuan ini juga ditegaskan tentang bentuk perlidungan
khusus bagi anak korban kekerasan.
Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses dan pihak yang
bertanggungjawan atas perlindungan anak korban kekerasan. Misalnya,
perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya ditentukan
prosesnya, yaitu melalui:
(1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
(2) upaya perlindungan dari pemberitaan
identitas melalui media massa dan
menghindari labelisasi;
(3) pemberian jaminan
keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial;
dan
(4) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan
informasi mengenai perkembangan perkara.
Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan yang berupa eksploitasi anak
secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan dilakukan melalui:
(1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan
perundangundangan
yang berkaitan dengan perlindungan anak yang
dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
(2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
(3) pelibatan pemerintah dan masyarakat dalam
penghapusan eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual.
Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan tersebut, semuanya hanya
ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat. Perlindungan yang diberikan oleh
UU ini pada dasarnya juga masih bersifat abstrak, tidak secara langsung dapat
dinikmati oleh korban kekerasan. Artinya, bahwa korban kekerasan tidak
memperoleh perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian yang dideritanya.
Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak (Pasal 74-76) juga belum
menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan,
sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya perlindungan
yang yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderiataan anak korban kekerasan.Pemberian
perlindungan terhadap anak korban kekerasan, khususnya yang berupa pemenuhan
ganti kerugian, baik melalui pemberian kompensasi dan/atau restitusi seharusnya
memperoleh perhatian dari pembuat kebijakan.
Berbagai bentuk ganti rugi
tersebut bukan semata-mata diberikan untuk perlindunagn korban. Oleh karena itu
perlu ada perhatian dari pembuat UU tentang pemberian perlindungan korban
kejahatan (kekerasan) secara langsung.Pelindungan ini sangat diperlukan bagi
korban kekerasan yang memang sangat memerlukan pemulihan kerugian, baik ekonomi
maupun fisik, sementara korban tidak mampu.
Seperti
dikemukakan di atas, meski kedua UU tersebut sudah menetapkan berbagai bentuk
perlindungan anak korban kekerasan, namun bentuk perlindungan yang bersifat
langsung, baik dari negara ataupun dari pelaku kekerasan belum nampak secara
jelas. Oleh karenanya perlu ditetapkan model pemberian perlindungan anak korban
kekerasan baik dalam UU Perlindungan Anak secara jelas dan tegas , sehingga
dalam kehidupan selanjutnya anak koban kekerasan benar-benar mendapat jaminan
hukum yang jelas.
2.7. Solusi Mencegah Terjadinya Kekerasan
pada Anak
Agar anak terhindar dari bentuk kekerasan seperti diatas
perlu adanya pengawasan dari orang tua, dan perlu diadakannya langkah-langkah
sebagai berikut:
· Jangan
sering mengabaikan anak, karena sebagian dari terjadinya kekerasan terhadap
anak adalah kurangnya perhatian terhadap anak. Namun hal ini berbeda dengan
memanjakan anak.
· Tanamkan
sejak dini pendidikan agama pada anak. Agama mengajarkan moral pada anak agar
berbuat baik, hal ini dimaksudkan agar anak tersebut tidak menjadi pelaku
kekerasn itu sendiri.
· Sesekali
bicaralah secara terbuka pada anak dan berikan dorongan pada anak agar bicara
apa adanya/berterus terang. Hal ini dimaksudkan agar orang tua bisa mengenal
anaknya dengan baik dan memberikan nasihat apa yang perlu dilakukan terhadp
anak, karena banyak sekali kekerasan pada anak terutama pelecehan seksual yang
terlambat diungkap.
· Ajarkan
kepada anak untuk bersikap waspada seperti jangan terima ajakan orang yang
kurang dikenal dan lain-lain.
· Sebaiknya
orang tua juga bersikap sabar terhadap anak. Ingatlah bahwa seorang anak
tetaplah seorang anak yang masih perlu banyak belajar tentang kehidupan dan
karena kurangnya kesabaran orang tua banyak kasus orang tua yang menjadi pelaku
kekerasan terhadap anaknya sendirI
BAB
III
PENUTUP
1. Simpulan
Setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Dalam penyelenggaraan
perlindungan anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 maka semua pihak
mempunyai kewajiban untuk melindungi anak dan mempertahankan hak-hak anak. Pemberlakuan
Undang-undang ini juga di sempurnakan dengan adanya pemberian tindak pidana
bagi setiap orang yang sengaja maupun tidak sengaja melakukan tindakan yang
melanggar hak anak. Dalam undang-undang ini juga dijelaskan bahwa semua anak
mendapat perlakuan yang sama dan jaminan perlindungan yang sama pula, dalam hal
ini tidak ada diskriminasi ras, etnis, agama, suku dsb. Anak yang menderita
cacat baik fisk maupun mental juga memiliki hak yang sama dan wajib dilindungi
seperti hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dsb.
Undang-undang No.23 tahun 2002 juga
menjelaskan mengenai hak asuh anak yang terkait dengan pengalihan hak asuh
anak, perwalian yang diperlukan karena ketidakmampuan orang tua berhubungan
dengan hukum, pengangkatan anak yang sangat memperhatikan kepentingan anak,
serta penyelenggaraan perlindungan dalam hal agama, kesehatan, pendidikan,
sosial dan perlindungan khusus.
2. Saran
Undang-undang ini telah dibuat
dengan baik dan memperhatikan atau peduli terhadap hak-hak anak namun
pemerintah kurang mensosialisasikan dan merealisasikan isi undang-undang ini. Pemerintah
dan masyarakat kurang berperan dalam menjalankan undang-undang ini sebab anak
masih dalam pengawasan dan pengasuhan keluarga jadi pihak lain belum
menjalankan tanggung jawab seperti yang telah tercatum diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Hadisuprapto,
Paulus, (5 Oktober 1996) Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak,Jakarta:PT.Gramedia Indonesia
Joni,
Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti
Sutanto,
Retnowulan, (5 Oktober 1996) Makalah “Hukum Acara Peradilan Anak”,
Wadong,
Maulana Hassan, (2000) Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
Jakarta: PT. Gramedia Indonesia, Jakarta 2000
Rani, (5
Oktober 1996) Makalah “ Masalah perlindungan anak “ ,
Arief, Barda Nawawi, (1998) Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakan Dan
Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Undang-undang terdiri atas:
KUHP
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar